IMPLEMENTASI PEMBAYARAN RETRIBUSI PAJAK JASA USAHA RUMAH POTONG HEWAN
(RPH) UNGGAS DI KAB. KUNINGAN DIHUBUNGKAN DENGAN PERDA NO. 17 TAHUN 1998
TENTANG RETRIBUSI RPH
ABSTRAK
Kebijakan Desentralisasi fiskal
sebagai tindak lanjut dari kebijakan otonomi, memberikan kewenangan daerah
kepada daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan asli daerah (PAD) dalam
meningkatkan pembangunan daerahnya masing-masing, misalkan didaerah Kab.
Kuningan dalam meningkatkan PAD salah satunya dari pemungutan Retribusi Rumah
Potong Hewan, yang diatur dalam
Peraturan Daerah No. 17 Tahun 1998 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan (RPH).
ternyata terdapat adanya das sollen dan
das sein, ada perbedaan antara apa
yang seharusnya diharapkan dan apa yang ada dalam kenyataan tidak sesuai,
misalkan Pasal 9 tentang jumlah tarif, (a) hewan besar, (b) hewan kecil, (c)
hewan unggas dan (d) pemerikasaan daging, akan tetapi dalam melaksanakan
pemungutan menentukan jumlah tarif tidak seluruhnya dipakai, yang dipakai hanya
Pasal 9 huruf (d) yaitu pemeriksaan daging.
Berdasarkan uraian diatas penulis dapat merumuskan beberapa masalah
yaitu, bagaimana implementasi pembayaran retribusi pajak jasa usaha rumah potong hewan unggas di Kab. Kuningan
dihubungkan dengan Perda No. 17 Tahun 1998 tentang Retribusi RPH, Kendala dalam
pembayaran Retribusi RPH. dan Upaya mengatasi kendala dalam pembayaran
Retribusi RPH.
Tujuan penulis dari penelitian yaitu untuk mengetahui bagaimana implementasi
pembayaran retribusi RPH, untuk mengetahui kendala yang harus dihadapi dalam
melakukan pemungutan, dan upaya mengatasi kendala tersebut.
Metode penelitian yang akan digunakan oleh penulis adalah metode
penelitian pertama yaitu metode Deskriftif
Analisis yakni penelitian terhadap
skripsi ditunjukan untuk menggambarkan dan memaparkan fakta-fakta terhadap
proses pembayaran retribusi pajak rumah potong hewan. Metode kedua yang
digunakan adalah metode Yuridis Normatif, yaitu suatu penelitian terhadap data-data
yang menekankan pada ilmu atau kaidah-kaidah yang masih berlaku.
Implementasi pembayaran retribusi rumah potong hewan di Kab. Kuningan
yaitu Pemerintah daerah memberikan kewenangan pemungutannya diberikan kepada
Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan (DP3) melalui kantor cabangnya yaitu
Puskeswan (Pusat Kesehatan Hewan), dalam melakukan pemungutannya dengan
menggunakan karcis atau dokumen lainya yang sah, dan jumlah tarif yang
ditentukan berdasarkan pemotongan perhari dikali dengan pemeriksaan daging Rp.
50,- /Kg. Kendala yang dihadapi dalam pemungutan retribusi RPH yaitu subyek RPH
sering menghindari dan sembunyi ketika petugas pemungutan datang dan sering
melakukan penundaan terhadap pembayaran retribusi tersebut. Upaya mengatasi kendala
tersebut yaitu Pemerintah Daerah mengadakan pembinaan dan pengawasan terhadap
pembayaran retribusi dan pajak kepada masyarakat.
KATA PENGANTAR
Assalamuallaikum Wr. Wb . . . . .
Segala Puji kehadirat Allah SWT, yang memberikan ujian kepada manusia
berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan, tapi dia
pula yang memberikan petunjuknya, obat, kekayaan dan ganjarannya. Shalawat dan
salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad saw, yang telah membimbing
umatnya untuk mencapai kejayaan dan keselamatan di dunia dan akhirat.
Atas segala nikmat dan karunia-Nya
yang senantiasa memberikan petunjuk, kekuatan lahir dan batin dengan semangat
dan keikhlasan sehingga penulis dapat menyusun skripsi dengan judul “Implementasi Pembayaran Retribusi Pajak
Jasa Usaha Rumah Potong Hewan Unggas di Kabupaten Kuningan dihubungkan dengan
Peraturan Daerah No. 17 Tahun 1998 tentang
Retribusi Rumah Potong Hewan (RPH)”
Penulisan skripsi ini sebagai salah satu syarat tugas akhir untuk
memperoleh Strata Satu yaitu gelar Sarjana Hukum (S.H). Dalam menyusun skripsi,
penulis menyadari banyak hambatan-hambatan yang dilalui, untuk itu penulis
mengucapkan terima kasih, yang pertama kepada kedua orang tua tercinta yaitu Ayahanda
Mahnun dan Ibunda Enjun, serta Adikku ialah Dinar Aldi Nuri, yang selalu
memberikan Do’a dan dukungannya, yang kedua penulis ucapkan kepada pembimbing
ibu Dewi Sulastri S.H., M.H. dan H. UU Nurul Huda S.Ag., S.H., M.H. terhadap
semua ilmu yang telah diberikan dan selalu bersyukur, yang telah membantu
terciptanya skripsi ini. Baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan dukungan, saran, ilmu dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini,
antara lain :
1.
Keluarga ibunda yang selalu memberikan dukungan secara
moril dan materilnya.
2.
Keluarga ayahanda yaitu Drs. H. Sudarjo, yang selalu
memberikan saran dan kritiknya.
3.
Sahabat di Jurusan Ilmu Hukum (Ucup,Terry, Ustad dan semuanya), Organisasi
Daerah KMK Bandung (Eva Setiawati, Apip, Fahmi, dll) dan di Desa (Mario jelly,
Gunawan, Aris Kopi, Ono Keyep, Anak-anak Cioeda, dll) yang selalu memberikan
semangat dan saran.
4.
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan
ilmu dan bimbingannya.
Dan kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu
persatu, semoga Allah swt memberikan balasan yang setimpal kepadanya. Penulis
sadari dalam penyusunan skiripsi ini pasti jauh dari sempurna, untuk itu
penulis mohon maklum, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan yang
lainnya.
Billahittafiq Wa Al-hidayah . . . .
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................. iii
BAB I..... PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A.
Latar Belakang ......................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah .................................................................... 8
C.
Tujuan Penelitian ..................................................................... 8
D.
Kegunaan Penelitian ................................................................ 9
E.
Kerangka Pemikiran ................................................................. 9
F.
Langkah-Langkah Penelitian ................................................... 15
BAB II... TINJAUAN TEORITIS TENTANG PAJAK DAN
RETRIBUSI DAERAH 19
A.
Definisi, Syarat dan Sistem Pemungutan Pajak
Pengaturannya ........ 19
B.
Klasifikasi Hukum Pajak dan Fungsi Pajak .............................. 26
C.
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah .......................................... 33
BAB III PEMBAYARAN RETRIBUSI PAJAK JASA USAHA RUMAH POTONG HEWAN
UNGGAS DI KABUPATEN KUNINGAN............................... 60
A. Implementasi Pembayaran
Retribusi Pajak Rumah Potong Hewan Unggas di Kabupaten Kuningan dihubungkan dengan
Perda Nomor 17 Tahun 1998 60
B. Kendala Pembayaran Retribusi
Pajak Rumah Potong Hewan Unggas di Kabupaten Kuningan dihubungkan dengan Perda
Nomor 17 Tahun 1998 69
C.
Upaya Mengatasi Kendala Pembayaran Retribusi Pajak Rumah Potong Hewan
Unggas di Kabupaten Kuningan dihubungkan dengan Perda No.17 Tahun 1998 73
BAB IV PENUTUP ...................................................................................... 79
A.
Kesimpulan .............................................................................. 79
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 81
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Zaman era globalisasi seperti
sekarang peran pajak dan retribusi dalam suatu negara dapat dikatakan sebagai
basis material dan darah kehidupan (lifeblood)
bagi negara dan roda kekuasaanya. Dalam catatan sejarah, tidak ada negara
otoriter maupun demokratis yang dapat bertahan hidup dan menjalankan roda
kekuasaannya tanpa adanya pajak dan retribusi dari rakyat. Sehingga dapat
diteorikan, apabila basis material dan darah kehidupan “pajak dan retribusi”
bisa berjalan dengan lancar baik dari segi penganggaran maupun pembelanjaannya,
akan tercipta suatu negara yang sejahtera. Pajak dibayar, negara tegak, pajak
diboikot negara ambruk. Dalam menjalankan kegiatan pemerintah
dan pembangunan nasional, pemerintah membutuhkan dana yang
tidak sedikit. Untuk itu pemerintah akan berusaha untuk menggali sumber-sumber
dana yang berasal dari segenap potensi sumber daya yang dimiliki oleh suatu
Negara, baik melalui kekayaan alam maupun iuran dari masyarakat. Sebagaimana
yang kita ketahui bahwa pajak merupakan kontribusi wajib kepada Negara. Pajak dan retribusi dapat digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintah dan pembangunan nasional.
Sejak tahun 1999 pembagian pajak menurut wewenang pemungutan pajak dipisahkan
menjadi pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat yang dipungut oleh pemerintah
pusat terdiri dari pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai, sedangkan pajak daerah dipungut oleh pemerintah daerah. Sektor pendapatan negara
yang telah dikembangkan untuk meningkatkan anggaran negara. Dapat dilakukan
mulai dari pemanfatan sumber daya alam yang melimpah sampai penyelenggaraan
usaha perusahaan negara dan usaha swasta. Akan tetapi sektor-sektor tersebut
masih belum bisa membawa negara ke jenjang yang lebih baik seperti yang
diharapkan.
Politik hukum nasional dalam bidang perpajakan tercantum dalam Undang-Undang
1945 Bab VII Pasal 23A yang menjelaskan
bahwa,
Pajak dan pemungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara
diatur dengan-undang-undang.[1]
Pajak ditinjau dari prespektif ekonomi dapat dipahami
sebagai paralihan sumber daya dari sektor privat (swasta) ke sektor publik
(pemerintah).[2]
Penerimaan pajak dilakukan pembagian antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah yang diatur dalam UU No.18 tahun 1997 jo UU No. 34 Tahun 2000 jo Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pengertian dari
Pajak Daerah diatur dalam Pasal 1 ayat (10) yaitu,
Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib
kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sedangkan Retribusi Daerah
diatur dalam Pasal 1 ayat (64) yaitu,
Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan
Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus
disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang
pribadi atau Badan.
Terkait dengan retribusi
rumah potong hewan termasuk pendapatan daerah yang menjadi salah satu sumber
paling diharapkan menjadi pendapatan asli daerah, retribusi rumah potong hewan
termasuk kedalam kategori retribusi jasa usaha,
pengertian jasa usaha diatur
dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 1 ayat (67) yaitu,
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan
menganut prinsip-prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan
oleh sektor swasta.[3]
Sedangkan yang termasuk
Jenis Retribusi jasa usaha menurut UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 127 yaitu,
a.
Retribusi
Pemakaian Kekayaan Daerah.
b.
Retribusi
Pasar Grosir dan/atau Pertokoan.
c.
Retribusi
Tempat Pelelangan.
d.
Retribusi
Terminal.
e.
Retribusi
Tempat Khusus Parkir.
f.
Retribusi
Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa.
g.
Retribusi
Rumah Potong Hewan.
h.
Retribusi
Pelayanan Kepelabuhanan.
i.
Retribusi
Tempat Rekreasi dan Olahraga.
j.
Retribusi
Penyeberangan di Air, dan
k. Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.
Objek dari Retribusi Rumah Potong Hewan diatur dalam UU No.
28 Tahun 2009 Pasal 134 yang menjelaskan bahwa,
Objek Retribusi Rumah Potong Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127
huruf (g) adalah pelayanan penyediaan fasilitas rumah pemotongan hewan ternak
termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong,
yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.[4]
Pajak dan retribusi sebagai sumber dana pembangunan daerah atau Budgetair, Menurut Mardiasmo fungsi Budgetair yaitu pajak sebagai sumber
dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluran-pengeluarannya dan fungsi
Mengatur (regurelend) yaitu pajak
sebagai alat mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang
sosial dan ekonomi.[5]
Penerimaan pemerintah yang paling sentral adalah pajak dan retribusi, sumbangan
pajak bagi anggaran pemerintah sangat besar, sehingga peran pajak dan retribusi
begitu sentral. Pemerintah berupaya meningkatkan pendapatan dari sektor pajak
dan retribusi, keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan Provinsi dan Kabupaten
atau Kota merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pemerintah pusat dengan
kebijakannya. Kebijakan tentang keuangan daerah ditempuh oleh pemerintah pusat
agar pemerintah daerah mempunyai kemampuan untuk membiayai pendanaan
pembangunan daerahnya sesuai dengan Daerah
Otonomi.
Sumber-sumber
pendanaan pelaksanaan pemerintah daerah terdiri dari :
1.
Pendapatan asli daerah
2.
Dana perimbangan
3.
Pinjaman daerah
4.
Lain-lain pendapatan yang sah
Pendapatan
asli daerah (PAD) merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak
daerah, hasil retribusi daerah, hasil dari pengelolaan daerah yang dipisahkan
dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan
keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk menggali pendanaan dalam pelaksanaan
otonomi daerah sebagai perwujudan asas Desentralisasi.[6]
Pada masa Orde Baru pembiayaan
daerah, berasal dari pemerintah pusat saja. Dengan adanya otonomi, pembiayaan
tidak hanya berasal dari pusat saja akan tetapi berasal dari daerahnya sendiri,
sehingga pemerintah daerah berusaha meningkatkan pendapatan asli daerah. Untuk
meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Pemerintah berusaha memperbaiki
sistem pajak dan retribusi daerahnya, dibuatnya UU No. 18 Tahun 1997 jo UU No.
34 Tahun 2000 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. Pajak daerah dan Retribusi Daerah merupakan pendapatan yang
paling besar yang diperoleh Daerah. Guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
pemerintah Kabupaten Kuningan berusaha untuk meningkatkan pendapatan asli
daerah salah satunya dari Retribusi Rumah Potong Hewan (RPH). Sistem pemungutan
retribusi daerah di Kabupaten Kuningan berbeda dengan pemerintah pusat.
Perbedaan terletak pada cara pemungutannya misalkan retribusi rumah potong
hewan di Kabupaten Kuningan ditarik langsung oleh pegawai Dinas Peternakan, Pertanian,
dan Perikanan ketempat lokasi langsung, dengan cara pemungutan retribusi daerah
menggunakan Karcis. Karcis sebagai
bukti pembayaran dari penyediaan jasa layanan kepada masyarakat. Dalam
prakteknya permasalahan yang sering dihadapi dalam cara pemungutan retribusi
adalah sering terlambatnya melakukan
pembayaran retribusi bagi para pemakai jasa usaha, dan tidak kesesuaiannya
dalam pembayaran retribusi yang telah ditentukan oleh Dinas Perternakan,
Perikanan, dan Pertanian, dan terkadang terjadinya melakukan monopoli terhadap retribusi antara
pengguna jasa usaha dan pegawai pemungutan.
Rumah
potong hewan di Kabupaten Kuningan banyak yang melakukan usaha pemotongan hewan
baik swasta maupun pribadi, masyrakat yang melakukan usaha rumah potong hewan
terkena wajib retribusi yang diatur dalam Perda No. 17 Tahun 1998 tentang
Retribusi Rumah Potong Hewan, dengan Perda tersebut seharusnya masyarakat dapat
melaksanakan Perda yang sudah diberlakukan, akan tetapi masyarakat di Kabupaten
Kuningan, kurang memperdulikan peraturan Perda tersebut jadi banyak anomali terhadap Perda tersebut menjadi
kurang efektif. Misalkan Perda No. 17 Tahun 1998 Pasal 9 mengatur tentang
Jumlah besarnya tarif retribusi hewan yaitu :
A.
Hewan Besar.
a. Pemakaian Kandang............................................... Rp. 1.500,00
b. Pemotongan Hewan ............................................... Rp. 4.500,00
c. Penyimpanan Daging ............................................. Rp. 1.000,00
B. Hewan Kecil.
a. Pemakaian Kandang .............................................. Rp. 200,00
b. Pemotongan Hewan ............................................... Rp. 2.500,00
c. Penyimpanan Daging.............................................. Rp. 200,00
C. Unggas.
a. Pemakaian Kandang .............................................. Rp. 20,00
b. Pemotongan Hewan ............................................... Rp. 150,00
c. Penyimpanan Daging.............................................. Rp. 20,00
D.
Biaya
pemeriksaan ulang daging untuk setiap Kg ... Rp.
50,00
Biaya
Penyembelihan dimaksud huruf a, b dan c ayat (2) pasal ini belum termasuk
ongkos Jagal atau Petugas Penyembelih.
Berdasarkan Perda No.
17 Tahun 1998 Pasal 9
huruf (a,b,c dan d) bahwa sudah jelas jumlah tarif per/ekor, yang seharusnya
dibayarkan oleh wajib retribusi, akan tetapi dalam kenyataannya yang berlaku
hanya Pasal 9 huruf (d) yaitu pemeriksaan daging saja. (Pasal 9 Huruf a, b dan
c) Untuk hewan besar, kecil dan unggas kurang diberlakukan, adapun cara
pembayarannya yaitu hanya jumlah pemotongan per/hari dikali pemerikasaan daging
Rp. 50,- /kg, dan itupun masyarakat keberatan dengan tarif yang ditentukan.
Jadi pegawai pemungutan mengeluarkan kebijakan
kepada masyarakat untuk membayar dengan cara memprediksikan kondisi rumah
potong hewan dan kemampuannya. Di Kabupaten Kuningan yang terkena wajib
retribusi oleh DP3 terdapat 58 orang yang masih bersedia membayar retribusi
RPH, masih banyak yang melakukan usaha RPH akan tetapi enggan membayar
retribusi RPH. Untuk pemungutan dilakukan ada yang per/minggu dan per/bulan.
Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan (DP3) berkewajiban melakukan
penyetoran sebesar Rp. 24.000.000,- /Tahun kepada Dinas Pendapatan Daerah
(DIPENDA) sebagai sumber PAD. Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan
melakukan pemungutannya berdasarkan target kewajiban penyetoran kepada Dinas
Pendapatan Daerah yang penting terpenuhi. Padahal apabila diberlakukan semua dapat
meningkatkan PAD dan pembangunan Daerah, disinilah masyarakat di Kab. Kuningan
masih kurang peduli dan kesadarannya terhadap retribusi.
Berdasarkan latar belakang yang yang telah diuraikan diatas, maka penulis
tertarik untuk melakukan kajian dan penelitian mengenai, Implementasi pembayaran
retribusi pajak jasa usaha rumah potong hewan unggas di Kabupaten Kuningan
dihubungkan dengan Peraturan Daerah No. 17 Tahun 1998 tentang Retribusi Rumah
Potong Hewan (RPH). Karena adanya kesenjangan antara Peraturan Daerah tersebut
dengan pelaksanaannya.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana implementasi
pembayaran retribusi pajak rumah potong hewan unggas di Kabupaten Kuningan
dihubungkan dengan Perda No. 17 Tahun
1998 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan ?
2. Bagaimana kendala pembayaran
retribusi pajak rumah potong hewan unggas di Kabupaten Kuningan dihubungkan
dengan Perda No. 17 Tahun 1998 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan ?
3. Bagaimana upaya mengatasi
kendala pembayaran Retribusi pajak rumah potong hewan unggas di Kabupaten
Kuningan dihubungkan dengan Perda No.17 Tahun 1998 tentang Retribusi
Rumah Potong Hewan ?
C.
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui
implementasi pembayaran retribusi pajak rumah potong hewan unggas di Kabupaten
Kuningan dihubungkan dengan Perda No. 17
Tahun 1998 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan.
2. Untuk mengetahui kendala
pembayaran retribusi pajak rumah potong hewan unggas di Kabupaten Kuningan
dihubungkan dengan Perda No. 17 Tahun 1998 tentang Retribusi Rumah
Potong Hewan.
3. Untuk mengetahui upaya
mengatasi kendala pembayaran Retribusi pajak rumah potong hewan unggas di
Kabupaten Kuningan dihubungkan dengan Perda No.17 Tahun 1998 tentang
Retribusi Rumah Potong Hewan.
D.
Kegunaan Penelitian
1. Segi Teoritis
Penulis mengharapkan dengan
adanya penelitian ini dapat memberikan suatu sumbangan ilmu pengetahuan tentang
pentingnya proses implementasi pembayaran retribusi pajak untuk pembangunan
daerah dan mesejahterakan masyarakat dalam sosial dan ekonomi, serta pemahaman
dari terhadap peraturan daerah tentang retribusi.
2. Segi Praktis
Hal-hal yang penulis
harapkan adalah dengan adanya penelitian ini dapat memberikan informasi kepada
mahasiswa dan masyarakat pada umumnya bagaimana implementasi pembayaran
retribusi rumah potong hewan yang seharusnya dijalankan berdasarkan Peraturan
Daerah.
E.
Kerangka Pemikiran
Satu syarat mutlak dalam
mengenakan pajak dan retribusi yang harus dipenuhi adalah adanya objek pajak
dan retribusi yang dimiliki atau dinikmati oleh wajib pajak dan retribusi. Pada
dasarnya objek pajak merupakan manifestasi
dari taatsband (keadaan yang nyata).[7] Pajak diadakan berdasarkan
Undang-Undang/Peraturan. Artinya berdasarkan hukum, pajak itu tidak boleh
dipungut/dikenakan secara sewenang-wenang. Dalam UUD-1945 Pasal 23A ditegaskan,
Bahwa segala pemungutan pajak untuk keperluan negara harus ditetapkan
dengan Undang-Undang.
Menurut Rochmat Soemitro, Pajak adalah iuran rakyat
kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan
tidak mendapat jasa imbal (kontraprestasi).[8] Sedangkan Retribusi
daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi adalah, Pungutan daerah sebagai atas
jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan
oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.[9] Pajak merupakan salah satu
gejala masyarakat, yang artinya pajak hanya ada didalam masyarakat, masyarakat
adalah kumpulan manusia yang pada suatu waktu berkumpul untuk tujuan tertentu,
masyarakat terdiri dari individu, individu mempunyai hidup sendiri dan
kepentingan sendiri.[10] Dari penjelasan diatas,
dapat ditarik kesimpulan tentang perbedaan antara pajak denga retribusi.
Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Kontra Prestasinya, pada retribusi kontra
prestasinya dapat ditunjuk secara langsung baik secara individu dan golongan
tertentu sedangkan pada pajak kontra prestasinya tidak ditunjuk secara
langsung.
2.
Balas Jasa Pemerintahan, hal ini dikaitkan dengan
tujuan pembayaran, yaitu pajak balas jasa pemerintah berlaku untuk umum;
seluruh rakyat menikmati balas jasa, baik yang membayar pajak maupun yang
dibebaskan dari pajak. Sebaliknya, pada retribusi balas jasa negara/pemerintah
berlaku khususnya, hanya dinikmati oleh pihak yang telah melakukan pembayaran
retribusi.
3.
Sifat Pemungutannya, pajak bersifat umum, artinya
berlaku untuk setiap orang yang memenuhi syarat untuk dikenakan pajak.
Sementara itu, retribusi hanya berlaku untuk orang tertentu, yaitu yang
menikmati jasa pemerintah yang dapat ditunjuk.
4.
Sifat Pelaksanaannya, pemungutan retribusi
didasarkan atas peraturan yang berlaku umum dan pelaksaanaanya dapat
dipaksakan, yaitu setiap orang yang ingin mendapatkan suatu jasa tertentu dari
pemerintah harus membayar retribusi. Jadi sifat paksaan pada retribusi bersifat
ekonomis sehingga pada hakekatnya diserahkan pada pihak yang bersangkutan untuk
membayar atau tidak. Hal ini berbeda dengan pajak. Sifat paksaan pada pajak
adalah yuridis, artinya bahwa setiap orang yang melanggarnya akan mendapat
sanksi hukuman, baik berupa sanksi pidana maupun denda.
5.
Lembaga atau Badan
Pemungutannya, pajak dapat dipungut oleh pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah
sedangkan retribusi hanya dapat dipungut oleh pemerintah daerah.[11]
Hambatan yang harus
dihadapi terhadap pemungutan pajak dapat
dikelompokan menjadi 2 yaitu sebagai berikut:
1)
Perlawanan Pasif
Masyarakat enggan (pasif)
membayar pajak yang disebabkan antara lain :
a)
Perkembangan intelektual dan moral masyarakat
b)
Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat
c)
Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan
baik
2)
Perlawanan Aktif
Perlawanan aktif meliputi
semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditunjukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari
pajak bentuknya antara lain :
a)
Tax avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak
melanggar undang-undang.
b)
Tax evasion, usaha meringankan beban
pajak dengan cara melanggar undang-undang (menggelapkan pajak).[12]
Pemungutan pajak agar tidak
menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi
syarat sebagai berukut :
1)
Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan)
Sesuai dengan tujuan hukum,
yakni mencapai keadilan, undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil,
adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan
merata, serta sesuai dengan kemampuan masing-masing. Sedang adil dalam
pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan
keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada majelis
pertimbangan pajak.
2)
Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (syarat
yuridis)
Di Indonesia pajak diatur dalam UUD 1945 Pasal 23 ayat (2).
Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara
maupun warganya.
3)
Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomis)
Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan
produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian
masyarakat.
4)
Pemungutan pajak harus efisien (syarat finasiil)
Sesuai fungsi budgetair,
biaya pemungutan pajak harus dapat ditekankan sehingga lebih rendah dari
hasil pemungutan.
5)
Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan
mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah
dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru.[13]
Menurut
golongan, pajak dikelompokan menjadi dua yaitu pajak langsung dan pajak tidak
langsung :
a.
Pajak
langsung
Pajak
langsung ialah pajak-pajak yang harus dipikul sendiri oleh siwajib pajak dan
tidak dilimpahkan kepada orang lain, misalkan pajak seorang pengusaha
dibayarkan dari pendapatan atau labanya sendiri. Pada pokoknya jenis pajak ini
tidak menaikan harga pajak-pajak langsung dikenakan seorang berulang-ulang pada
waktu-waktu tertentu misalnya tiap tahun atau tiap bulan yang ditagih pada
ketetapan pajak.
Contoh
pajak langsung : pajak penghasilan, pajak gaji, pajak upah, pajak
kekayaan, pajak perseroan, pajak
dividen, (keuntungan pemegang saham dari perseroan terbatas) dan pajak rumah
tangga.
b.
Pajak tidak
langsung
Pajak
tidak langsung adalah pajak-pajak yang pada akhirnya dapat menaikan harga,
karena akhirnya ditanggung oleh pembeli, dan pajak tersebut baru terhutang jika
terjadi hal-hal yang menyebabkan terhutang pajak. Sebagai contoh pajak tidak
langsung dapat disebutkan; pajak penjualan, pajak pembangunan, bea materai, bea
warisan, dan bea balik nama.[14]
Upaya menigkatkan pendapatan
daerah, persyaratan pertama dan yang paling jelas untuk sumber pendapatan ialah
harus menghasilkan pendapatan yang besar, dalam kaitannya dengan biaya yang
pelayanan yang akan dikeluarkan. Pemerintah daerah mempunyai jenis pajak,
tetapi tidak menghasilkan lebih dari persentasi terkecil dari anggaran
pengeluarannya. Hal tersebut menimbulkan kerugian, antara lain ongkos pungut
akan menjadi besar, upaya administrasi terbagi-bagi, pembebanan sulit dicapai
secara adil, kesabaran masyarakat hilang karena banyak pungutan kecil-kecil,
dan kesan yang tidak benar dapat timbul
terhadap kemampuan keuangan pemerintah daerah.[15]
Otonomi daerah dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan hanya diukur dari dari jumlah
PAD yang dapat dicapai, tetapi lebih dari itu, yaitu sejauh mana pajak daerah
dan retribusi dapat berperan dalam mengatur perekonomian masyarakat agar tumbuh
berkembang, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di
Daerah.[16]
Obyek dan Subjek retribusi
rumah potong hewan diatur dalam Perda No. 17 tahun 1998 tentang
Retribusi Rumah Potong Hewan Pasal 2 yaitu,
(1)
Obyek retribusi adalah pelayanan penyediaan fasilitas
rumah potong hewan.
(2)
Subyek retribusi adalah orang pribadi atau badan yang
menggunakan fasilitas rumah potong hewan.
F. Langkah-Langkah Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode penelitian yang akan
digunakan oleh penulis adalah metode penelitian Deskriftif Analisis yakni
penelitian terhadap skripsi ditunjukan untuk menggambarkan dan memaparkan
fakta-fakta terhadap proses pembayaran retribusi pajak rumah potong hewan.
Metode penelitian dilakukan guna menggambarkan apa yang ada, proses sedang
berlangsung, akibat atau efek yang terjadi terhadap pajak dan retribusi, atau
kecenderungan terhadap masyarakat dalam proses pembayaran retribusi pajak.
Metode kedua yang digunakan
adalah metode Yuridis Normatif, yaitu suatu penelitian terhadap data-data
yang menekankan pada ilmu atau kaidah-kaidah yang masih berlaku.
2. Jenis Data
Penulis menggunakan jenis
data kualitatif yaitu data yang tidak
menggunakan angka-angka atau rumus-rumus. Adapun data yang dibutuhkan dalam
penelitian ini adalah :
a.
Data tentang tinjauan implementasi pembayaran retribusi pajak
terhadap jasa usaha rumah potong hewan.
b.
Data tentang kendala yang harus dihadapi retribusi pajak
terhadap jasa usaha rumah potong hewan.
c.
Data tentang upaya mengatasi kendala pemungutan retribusi
pajak rumah potong hewan.
3. Sumber Data
Sumber
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari
:
a.
Bahan Hukum, yaitu Peraturan Daerah Kab. Kuningan Nomor 17
Tahun 1998 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan, Undang- Undang Nomor 18 Tahun
1997 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah.
b.
Bahan hukum sekunder, yaitu buku yang berkaitan dengan
permasalahan tersebut yang ditulis oleh pakar-pakar hukum positif maupun pakar
hukum yang lainya. Seperti buku Mardiasmo tentang Perpajakan, dan Marihot
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dan lain-lain.
c.
Bahan hukum tertier, buku ensiklopedia hukum dan media situs
internet.
4. Teknik Pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang
dilakukan oleh penulis adalah library
research atau studi kepustakaan dan Wawancara, studi kepustakaan yaitu
suatu bentuk penelitian kepustakan dengan membaca serta mempelajari literatur,
penelahan naskah, dan catatan ilmiah.[17] Maksud studi kepustakaan dalam penelitian ini
adalah teori-teori yang relevan yang berhubungan dengan masalah proses
pelaksanaan pembayaran terhadap retribusi pajak jasa usaha rumah potong hewan.
5. Analisis Data
Analisis data yang digunakan
adalah analisis yuridis kualitatif yaitu analisis hukum yang tidak menggunakan
angka-angka atau rumus-rumus.[18] dan yang dilakukan dengan
mengklasifikasikan data yang terkumpul sesuai dengan perumusan masalah kemudian
mengkategorikannya dengan kerangka pemikiran yang pada akhirnya dapat ditarik
suatu kesimpulan.
Maka berdasarkan pemaparan
diatas penulis melakukan analisis data dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a.
Mengumpulkan data tentang implementasi pembayaran retibusi
pajak terhadap jasa usaha rumah potong hewan.
b.
Mengklasifikasikan data yang diperoleh untuk dikelompokan
mana yang diperlukan dan mana yang tidak diperlukan.
c.
Memahami data yang telah diklasifikasikan.
d.
Menganalisis data Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 1998
tentang Retribusi Rumah Potong Hewan.
e.
Menarik kesimpulan tentang implementasi pembayaran retribusi
pajak terhadap jasa usaha rumah potong hewan.
BAB II
TINJAUN TEORITIS TENTANG PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH
A.
Definisi, Syarat Dan Sistem
Pemungutan Pajak Pengaturannya
1.
Definisi Pajak
Definisi pajak dari beberapa
ahli, yang dimuat secara kronologis, yaitu :
a.
Menurut Prancis, pajak adalah, “Bantuan baik secara langsung
maupun tidak yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari
barang, untuk menutup belanja pemerintah”.[19]
b.
Menurut Deutsche Reichs Abgaben Ordnung, pajak adalah, “Bantuan
uang secara insidental atau secara periodik (dengan tidak ada
Kontraprestasinya) yang dipungut oleh badan yang bersifat umum (negara), untuk
memperoleh pendapatan dimana terjadi suatu Tatbestand
(sasaran pemajakan) yang karena Undang-Undang telah menimbulkan utang pajak”.[20]
c.
Menurut N. J. Feldmann, pajak adalah, “Prestasi yang
dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang
ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata
digunakan untuk menutup pengularan-pengularan umum”.[21]
d.
Menurut M. J. H. Smeets, pajak adalah, “Prestasi kepada
pemerintah yang terutang melalui norma-norma hukum, dan yang dapat dipaksakan,
tanpa adakalanya, kontraprestasi yang dapat ditunjukan dalam hal yang
individual, maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah”.[22]
e.
Menurut Soeparman Soemahamidjaja, pajak adalah, “Iuran wajib,
berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma
hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang atau jasa-jasa kolektif dalam
mencapai kesejahteraan umum”.[23]
f.
Menurut Rochmat Soemitro, pajak adalah, “Iuran rakyat kepada
kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak
mendapat jasa imbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukan dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum. dengan penjelesan sebagai berikut.
“dapat dipaksakan”.[24]
g.
Menurut Abdul Qadim Zallum, pajak menurut syariah adalah, “Harta
yang diwajibkan Allah swt. Kepada kaum muslim untuk membiayai berbagai
kebutuhan dan pos-pos pengeluran yang memang diwajibkan atas mereka, pada kondisi
baitul mal tidak ada uang/harta”.[25]
h.
Definisi Pajak menurut Kansil C.S.T, pajak adalah, “Iuran
kepada kas negara yang terhutang oleh yang wajib membayarnya (wajib pajak)
berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapat prestasi (balas jasa), kembali
yang langsung”.[26]
i.
Menurut Hukum atau Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah Pasal 1 ayat (6) yang menjelaskan,
Pajak Daerah,
yang selanjutnya disebut pajak adalah, “Iuran wajib yang dilakukan oleh orang
pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang
dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
digunakan untuk membiayai menyelenggarakan pemerintahan daerah dan pembangunan
daerah”.[27]
Definisi diatas
dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur yaitu:
1)
Iuran dari rakyat kepada negara, yang berhak
memungut pajak hanyalah negara, iuran tersebut berupa uang (bukan barang).
2)
Berdasarkan Undang-Undang, pajak dipungut
berdasarkan atau dengan kekuatan Undang-Undang serta peraturan pelaksanaannya.
3)
Tanpa jasa timbal balik atau kotraprestasi dari negara secara
langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan
adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
4)
Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara,
yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.[28]
2.
Syarat, Tata Cara dan
Hambatan Pemungutan Pajak
a.
Syarat Pemungutan Pajak
Pemungutan pajak agar tidak
menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak memenuhi syarat
sebagai berukut :
1)
Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan)
Sesuai dengan tujuan hukum,
yakni mencapai keadilan, Undang-Undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil,
adil dalam Perundang-Undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan
merata, serta sesuai dengan kemampuan masing-masing. Sedang adil dalam
pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan
keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada majelis
pertimbangan pajak.
2)
Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang (syarat
yuridis).
Di Indonesia pajak diatur dalam UUD 1945 Pasal 23 ayat (2).
Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara
maupun warganya.
3)
Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomis).
Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan
produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian
masyarakat.
4)
Pemungutan pajak harus efisien (syarat finasiil).
Sesuai fungsi budgetair,
biaya pemungutan pajak harus dapat ditekankan sehingga lebih rendah dari
hasil pemungutan.
5)
Sistem pemungutan pajak harus sederhana.
Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong
masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi
oleh Undang-Undang perpajakan yang baru.[29]
b.
Tata Cara Pemungutan Pajak
1) Stelsel Pajak
Pemungutan pajak dapat
dilakukan berdasarkan 3 stelsel
a) Stelsel nyata (riel stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang
nyata), sehingga pemungutan baru dapt dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni
setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata mempunyai
kelebihan atau kebaikan dan kekurangan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak yang
dikenakan lebih realistis. Sedangkan kelemahannya adalah pajak baru dapat
dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui).
b) Stelsel anggapan (fictieve stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur
oleh Undang-Undang. Misalkan, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan
tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan
besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak
berjalan, kebaikan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun
berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun. Sedangkan kelemahannya adalah
pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.
c) Stelsel campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan
stelsel anggapan, pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu
anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan
yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar dari pada
pajak menurut anggapan, maka wajib pajak harus menambah sebaliknya, jika lebih
kecil kelebihannya dapat diminta kembali.[30]
2) Asas pemungutan Pajak
a) Asas domisili (asas tempat
tinggal)
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan wajib
pajak yang bertempat tinggal diwilayahnya, baik penghasilan yang berasal dalam
maupun dari luar negri. Asas ini berlaku untuk wajib pajak dalam negeri.
b) Asas sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang
bersumber diwilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib pajak.
c) Asas kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara.[31]
3) Sistem pemungutan pajak
a)
Official assessment sytem
Adalah suatu pemungutan yang memberi wewenang kepada
pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib
pajak.
Ciri-cirinya :
(1) Wewenang untuk menentukan
besarnya pajak terutang ada pada fiskus
(2) Wajib pajak bersifat pasif
(3) Utang pajak timbul setelah
dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus
b)
Self assessment system
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
Ciri-cirinya :
(1) Wewenang untuk menentukan
besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri.
(2) Wajib pajak aktif, mulai
dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.
(3) Fiskus tidak ikut campur dan
hanya mengawasi.
c)
With holding system
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan wajin pajak yang bersangkutan) untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
Ciri-cirinya :
Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada
pihak ketiga, pihak selain fiskus dan wajib pajak.[32]
c.
Hambatan Pemungutan Pajak
Hambatan terhadap pemungutan pajak dapat dikelompokan
menjadi 2 yaitu :
1) Perlawanan Pasif
Masyarakat enggan
(pasif) membayar pajak yang disebabkan antara lain :
a) Perkembangan intelektual dan
moral masyarakat
b) Sistem perpajakan yang
(mungkin) sulit dipahami masyarakat
c) Sistem kontrol tidak dapat
dilakukan atau dilaksanakan dengan baik
2) Perlawanan Aktif
Perlawanan aktif
meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditunjukan kepada
fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak bentuknya antara lain :
a) Tax avoidance, usaha
meringankan beban pajak dengan tidak melanggar Undang-Undang.
b) Tax evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar Undang-Undang
(menggelapkan pajak).[33]
B.
Klasifikasi Hukum Pajak Dan
Fungsi Pajak
Terdapat
berbagai jenis pajak, yang dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu menurut
golongan, menurut sifat, dan menurut lembaga pemugutannya.
1. Menurut golongan
Menurut
golongan, pajak dikelompokan menjadi dua yaitu pajak langsung dan pajak tidak
langsung :
a.
Pajak langsung
Pajak
langsung ialah pajak-pajak yang harus dipikul sendiri oleh siwajib pajak dan
tidak dilimpahkan kepada orang lain, misalkan pajak seorang pengusaha
dibayarkan dari pendapatan atau labanya sendiri. Pada pokoknya jenis pajak ini
tidak menaikan harga pajak-pajak langsung dikenakan seorang berulang-ulang pada
waktu-waktu tertentu misalkan tiap tahun atau tiap bulan yang ditagih pada
ketetapan pajak.[34]
Contoh
pajak langsung : pajak penghasilan, pajak gaji, pajak upah, pajak
kekayaan, pajak perseroan, pajak
dividen, (keuntungan pemegang saham dari perseroan terbatas) dan pajak rumah
tangga.
b.
Pajak tidak langsung
Pajak
tidak langsung adalah pajak-pajak yang pada akhirnya dapat menaikan harga,
karena akhirnya ditanggung oleh pembeli, dan pajak tersebut baru terhutang jika
terjadi hal-hal yang menyebabkan terhutang pajak. Sebagai contoh pajak tidak
langsung dapat disebutkan: pajak penjualan, pajak pembangunan, bea materai, bea
warisan, dan bea balik nama.[35]
Manfaat
pembedaan pajak kedalam pajak langsung dan pajak tidak langsung adalah:
1)
Untuk keperluan sistematik dalam ilmu pengetahuan,
misalkan untuk menentukan : saatnya timbulnya hutang pajak, kadaluarsa, tagihan
susulan.
2)
Untuk menentukan cara pengadakan proses peradilan
karena perselisihan.
2. Menurut sifat
Menurut
sifatnya, pajak dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu pajak subjektif dan pajak
objektif.
a.
Pajak subjekif, adalah Pajak yang pengenaannya
memperhatikan pada keadaan pribadi wajib pajak atau pengenaan pajak yang
memperhatikan keadaan subjeknya. Contoh: pajak penghasilan.
b.
Pajak obyektif , Pajak yang pengenaannya memperhatikan
pada objeknya baik berupa, benda, keadaan, perbuatan, atau peristiwa yang
mengakibatkan timbulnya kewajiban membayar pajak, tanpa memperhatikan keadaan
pribadi subjek pajak (wajib pajak) maupun tempat tinggal. Contoh: Pajak pertambahan
nilai dan pajak penjualan atas barang mewah.
3. Menurut Lembaga Pemungutan
a.
Pajak Negara atau Pajak Pusat yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah
pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.
1)
Pajak yang dipungut oleh Dirjen Pajak:
a)
Pajak penghasilan
b)
PPN
c)
Pajak bumi dan bangunan
d)
Bea materi
e)
Bea lelang
2)
Pajak yang dipungut Bea Cukai (Dirjen Bea Cukai)
b.
Pajak daerah yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah
daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.[36]
1.
Fungsi Pajak
Menurut
Achmad Tjahjono dan Muhammad F. Husain, ada fungsi lainnya yang tidak kalah pentingnya
yaitu pajak sebagai fungsi mengatur. Berikut ini adalah penjelasan untuk
masing-masing fungsi tersebut.[37]
a. Sumber Keuangan Negara
Pemerintah
memungut pajak terutama atau semata-mata untuk memperoleh uang
sebanyak-banyaknya untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya baik bersifat
rutin maupun untuk pembangunan, Fungsi sumber keuangan negara yaitu fungsi
pajak untuk memasukkan uang ke kas negara atau dengan kata lain fungsi pajak
sebagai sumber penerimaan negara dan digunakan untuk pengeluaran negara baik
pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan.
Negara
seperti halnya rumah tangga memerlukan sumber-sumber keuangan untuk membiayai
kelanjutan hidupnya. Dalam keluarga sumber keuangan dapat berupa gaji/upah atau
laba usaha. Sedangkan bagi suatu negara, sumber keuangan yang utama adalah
pajak dan retribusi.
b. Fungsi Mengatur atau Non Budgetair
Disamping
usaha untuk memasukkan uang sebanyak mungkin untuk kegunaan kas negara, pajak
harus dmaksudkan sebagai usaha pemerintah untuk turut campur tangan dalam
mengatur dan bilamana perlu, mengubah susunan pendapatan dan kekayaan dalam
sektor swasta.
Menurut
Achmad Tjahjono dan Muhammad F. Husain, alat untuk melaksanakan kebijakan
negara dalam bidang ekonomi dan sosial, sebagai alat untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu yang letaknya diluar bidang keuangan. Beberapa contoh
pungutan pajak yang berfungsi mengatur yaitu:
1.
Pemberlakuan tarif progresif
(dalam hal ini pajak dikenal juga berperan sebagai alat dalam Retribusi
Pendapatan)
2.
Pemberlakuan Bea masuk yang tinggi bagi impor dengan
tujuan untuk melindungi produksi dalam negeri.
3.
Pemberian fasilitas tax holiday atau pembebasan
pajak untuk beberapa jenis industri tertentu dengan maksud mendorong atau memotivasi para investor untuk
meningkatkan investasinya.
4.
Pengenaan jenis pajak tertentu dengan maksud menghambat
gaya hidup mewah.
5.
Pembebasan PPh atas Sisa Hasil Usaha Koperasi yang
diperoleh sehubungan dengan kegiatan usahanya yang semata-mata dari dan untuk
anggota.[38]
Pajak diadakan berdasarkan
Undang-Undang/Peraturan. Artinya berdasarkan hukum, pajak itu tidak boleh
dipungut/dikenakan secara sewenang-wenang. Dalam UUD-1945 Pasal 23A ditegaskan,
Bahwa segala pemungutan pajak untuk keperluan negara harus ditetapkan dengan
Undang-Undang, yang berarti DPR diikut sertakan, bahkan pada hakekatnya DPR lah
yang memutuskannya.
2.
Hukum Pajak
Hukum Pajak ialah, Himpunan
peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah dan wajib-wajib
pajak dan antara lain mengatur siapa-siapa dalam hal apa dikenakan (obyek
pajak), timbulnya kewajiban pajak, cara pemungutannya, cara penagihannya dan
sebagainya. Sebagai hukum peraturan-peraturan pajak pada intinya bagi wajib
pajak memuat kewajiban-kewajiban, hak-hak dan sanksi administratif maupun
sanksi pidana sehubung dengan pelanggaran atas ketentuan-ketentuannya. Hukum
pajak merupakan bagian dari hukum publik, khususnya termasuk lingkungan hukum
administrasi negara, hukum pajak tidak terlepas dari bagian-bagian hukum
lainnya, namun mempunyai hubungan erat dengan hukum administrasi negara, hukum
perdata dan hukum pidana.[39]
Menurut Erly Suandy, Hukum Pajak adalah, Suatu kumpulan peraturan yang
mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai
pembayar pajak.[40]
Hukum pajak sering juga
disebut hukum fiskal, istilah pajak
sering disamakan dengan istilah fiskal, yang berasal dari bahasa latin fiscal yang berarti kantong uang dan
keranjang uang. Istilah fiskal yang dimaksud sekarang adalah Kas negara,
sedangkan Fiscus disamakan dengan pihak yang mengurus penerimaan negara atau
disebut juga administrasi pajak.[41]
1.
Kedudukan Hukum pajak
Menurut Rochmat Soemitro, hukum
pajak mempunyai diantara hukum-hukum sebagai berikut :[42]
a) Hukum perdata mengatur
hubungan antara satu individu dengan individu lainnya.
b) Hukum publik mengatur
hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya. Hukum ini dapat dirinci lagi
sebagai berikut:
(1) Hukum Tata Negara
(2) Hukum Tata Usaha (Hukum
Administratif)
(3) Hukum Pajak
(4) Hukum Pidana
Kedudukan hukum pajak merupakan
bagian dari hukum publik. Mempelajari dalam bidang hukum, berlaku apa yang
disebut lex specialis derogat lex
generalis, yang artinya peraturan yang khususnya lebih diutamakan dari pada peraturan umum atau jika sesuatu
ketentuan belum ada atau tidak diatur dalam peraturan khusus, maka akan berlaku
ketentuan yang diatur dalam peraturan umum.
Dalam peraturan khususnya adalah hukum pajak, sedangkan peraturan umumnya
adalah publik atau hukum yang lain yang sudah ada sebelumnya. Hukum pajak
menganut paham imperatif, yakni
pelaksanaannya tidak dapat ditunda. Misalkan dalam hal pengajuan keberatan,
sebelum ada keputusan dari Direktur Jendral pajak bahwa keberatan tersebut
diterima, maka wajib pajak yang mengajukan keberatan terlebih dahulu membayar
pajak, sesuai yang telah ditetapkan. Berbeda dengan hukum pidana yang menganut paham oportunitas, yakni pelaksanaannya
dapat ditunda setelah ada keputusan lain.[43]
2.
Hukum Pajak Materiil dan
Hukum Pajak Formil
Hukum pajak mengatur
hubungan antara pemerintah (fiscus)
selaku pemungut pajak. Ada 2 macam hukum pajak yaitu :
a)
Hukum pajak materiil, menurut
norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan, perbuatan, peristiwa hukum
yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek), berapa
besar pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya
utang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak.
Contoh
: Undang-Undang pajak penghasilan
b)
Hukum pajak formil, memuat bentuk/tata cara untuk mewujudkan
hukum materil menjadi kenyataan (cara pelaksanaannya hukum pajak materil).
Hukum ini memuat antara lain :
(1) Tata cara penyelenggaraan
(prosedur) penetapan suatu utang pajak.
(2) Hak-hak fiskus untuk
mengadakan pengawasan terhadap para wajib pajak mengenai keadaan, perbuatan dan
peristiwa yang menimbulkan utang pajak.
(3) Kewajiban wajib pajak misalkan
menyelenggarakan pembukuan/pencatatan, dan hak-hak wajib pajak misalkan
mengajukan keberatan dan banding.
Contonya
: ketentuan umum dan tata cara perpajakan.[44]
C.
Pajak Daerah Dan Retribusi
Daerah
Pajak adalah iuran rakyat
kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan
tidak mendapat jasa imbal (kontra prestasi), yang langsung dapat ditunjukan dan
yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.[45]
Sedangkan Retribusi daerah,
yang selanjutnya disebut Retribusi
adalah pungutan daerah sebagai atas jasa atau pemberian izin tertentu yang
khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan
orang pribadi atau badan.[46]
Penjelasan diatas, dapat
ditarik kesimpulan tentang perbedaan antara pajak denga retribusi. Perbedaan
tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Kontra Prestasinya, pada retribusi kontra
prestasinya dapat ditunjuk secara langsung baik secara individu dan golongan
tertentu sedangkan pada pajak kontra prestasinya tidak ditunjuk secara
langsung.
2.
Balas Jasa Pemerintahan, hal ini dikaitkan dengan
tujuan pembayaran, yaitu pajak balas jasa pemerintah berlaku untuk umum; seluruh
rakyat menikmati balas jasa, baik yang membayar pajak maupun yang dibebaskan
dari pajak. Sebaliknya, pada retribusi balas jasa negara/pemerintah berlaku
khususnya, hanya dinikmati oleh pihak yang telah melakukan pembayaran
retribusi.
3.
Sifat Pemungutannya, pajak bersifat umum, artinya
berlaku untuk setiap orang yang memenuhi syarat untuk dikenakan pajak.
Sementara itu, retribusi hanya berlaku untuk orang tertentu, yaitu yang
menikmati jasa pemerintah yang dapat ditunjuk.
4.
Sifat Pelaksanaannya, pemungutan retribusi
didasarkan atas peraturan yang berlaku umum dan pelaksaanaanya dapat
dipaksakan, yaitu setiap orang yang ingin mendapatkan suatu jasa tertentu dari
pemerintah harus membayar retribusi. Jadi sifat paksaan pada retribusi bersifat
ekonomis sehingga pada hakekatnya diserahkan pada pihak yang bersangkutan untuk
membayar atau tidak. Hal ini berbeda dengan pajak. Sifat paksaan pada pajak
adalah yuridis, artinya bahwa setiap orang yang melanggarnya akan mendapat
sanksi hukuman, baik berupa sanksi pidana maupun denda.
5.
Lembaga atau Badan
Pemungutannya, pajak dapat dipungut oleh pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah
sedangkan retribusi hanya dapat dipungut oleh pemerintah daerah.[47]
1.
Pajak Daerah
Dasar hukum pemungutan pajak
daerah adalah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No.34
Tahun 2000 jo Undang-Undang No. 28 Tahun 2009.
Beberapa pengertian atau
istilah yang terkait dengan pajak daerah antara lain :
a.
Daerah Otonom, yang selanjutnyadisebut
daerah, adalah Kesatuan masyarakat hukum yang mempuyai batas daerah tertentu
berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan negara kesatuan
Republik Indonesia.
b.
Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut
Pajak, adalah Iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada
Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai
menyelenggarakan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.
c.
Badan, adalah Sekumpulan orang
dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang
tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau daerah dengan nama dan dalam
bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan,
yayasan, organisasi masa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang
sejenisnya, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk lainnya.
d.
Subjek pajak, adalah Orang pribadi atau
badan yang dapat dikenakan pajak daerah.
e.
Wajib Pajak, adalah Orang pribadi atau
badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah
diwajibkan untuk melakukan pembayaran pajak yang terutang, termasuk pemungut
atau pemotong pajak tertentu.[48]
Pajak daerah merupakan pajak
yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan Peraturan Daerah (Perda), yang
wewenang pemungutannya dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan hasilnya
digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah
daerah dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan di daerah.
Karena pemerintah daerah di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu pemerintah Provinsi
dan pemerintah Kabupaten/Kota, yang diberi kewenangan untuk melaksanakan
otonomi daerah pajak daerah di Indonesia dewasa ini juga dibagi menjadi dua,
yaitu pajak Provinsi dan pajak Kabupaten/Kota.[49]
a.
Jenis-Jenis Pajak Daerah
Pajak daerah di Indonesia
berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, terbagi menjadi dua yaitu pajak daerah tingkat I (Provinsi)
dan pajak daerah tingkat II (Kabupaten/Kotamadya). Pembagian dilakukan sesuai
dengan kewenangan pengenaan dan
pemungutan masing-masing jenis pajak daerah pada wilayah admnistrasi provinsi
atau Kabupaten/Kotamadya yang bersangkutan. Setiap pemerintahan hanya dapat
menetapkan pajak daerah sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepadanya oleh
peraturan perundang-undangan pajak daerah. Hal ini untuk mengantisipasi agar
tidak terjadi perbutan kewenangan antara daerah provinsi dan daerah
Kabupaten/Kotamadya untuk memungut suatu jenis pajak pada suatu wilayah yang
menjadi kewenangannya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor
18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, ditetapkan sembilan
jenis pajak daerah, yaitu tiga jenis
pajak daerah tingkat I dan enam Jenis
pajak daerah tingkat II.[50]
Pungutan daerah yang berupa
pajak dan retribusi diatur dengan UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 34 Tahun
2000. Sesuai dengan Undang-Undangan tersebut untuk pemungutan menjadi bertmabah,
pemerintah daerah diberi kewenangan untuk memungut sebelas jenis pajak daerah, yaitu empat jenis pajak provinsi dan tujuh
jenis pajak Kabupaten/Kota. Selain itu Kabupaten/Kota juga masih diberi
kewenangan untuk menetapkan jenis pajak lain sepanjang memenuhi kriteria yang
ditetapkan dalam Undang-Undang. Undang-Undang tersebut juga mengatur tarif
pajak maksimum untuk kesebelas jenis pajak daerah tersebut.[51]
Diberlakukan kurang lebih
dari 12 tahun sebagai ketentuan hukum pajak formal dan material dalam proses
pengenaan dan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah di Indonesia,
pemerintah dan bersama DPR memandang perlu penggantian Undang-Undang No. 18 Tahun
1997, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 34 Tahun 2000.
Penggantian tersebut dilakukan oleh pemerintah dengan mengundangkan
Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.[52]
Berkaitan dengan disahkannya
Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Pengaturan Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. Materi yang diatur dalam UU No. 42 Tahun 2009 adalah
penambahan jenis pajak daerah. Terdapat penambahan empat jenis pajak daerah,
yaitu satu jenis pajak Provinsi dan tiga jenis pajak Kabupaten/Kota. Dengan
tambahan tersebut, secara keseluruhan terdapat enam belas jenis pajak daerah, yaitu lima jenis pajak Provinsi dan
sebelas jenis pajak Kabupaten/Kota. Jenis pajak Provinsi yang baru adalah Pajak rokok, sedangkan tiga jenis pajak
Kabupaten/Kota yang baru adalah PBB
pendesaan, perkotaan, BPHTB, dan pajak sarang burung walet. Sebagai
catatan, untuk Kabupaten/Kota ada penambahan satu jenis pajak yaitu pajak air
tanah, yang sebelumnya merupakan pajak Provinsi, yaitu pajak pengambilan dan pemanfaatan
air bawah tanah dan air permukaan.[53]
Jenis pajak daerah dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
yaitu :
a.
Jenis Pajak Provinsi terdiri atas :
1. Pajak kendaraan bermotor
2. Bea balik nama kendaraan
bermotor
3. Pajak bahan bakar kendaraan
bermotor
4. Pajak air permukaan, dan
5. Pajak rokok
b.
Jenis Pajak Kebupaten/Kota terdiri atas:
1. Pajak hotel
2. Pajak restoran
3. Pajak hiburan
4. Pajak reklame
5. Pajak penerangan jalan
6. Pajak mineral bukan logam
dan batuan
7. Pajak parkir
8. Pajak air tanah
9. Pajak sarang burung walet
10. Pajak bumi dan bangunan
perdesaan dan perkotaan, dan
11. Bea perolehan hak atas tanah
dan bangunan.[54]
b.
Objek dan Subjek Pajak
Daerah
1. Objek Pajak Daerah
Pajak merupakan salah satu
syarat mutlak yang harus dipenuhi adalah adanya objek pajak yang dimiliki atau
dinikmati oleh wajib pajak. Pada dasarnya objek pajak merupakan manifestasi dari taatbestand (keadaan yang nyata). Taatbestand adalah keadaan peristiwa, atau perbuatan yang menurut
peraturan perundang-undangan pajak dapat dikenakan pajak. Kewajiban pajak dari
seseorang wajib pajak muncul (secara objektif) apabila memenuhi taatbestand. Tanpa terpenuhinya taatbestand tidak ada pajak terutang
yang harus dipenuhi atau dilunasi.[55]
Undang-Undang No. 18
Tahun1997 maupun Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 tidak secara jelas dan tegas
menentukan apa yang menjadi objek pajak pada setiap jenis pajak daerah, tetapi
menyerahkannya pada peraturan pemerintah. Penentuan apa yang menjadi objek
pajak daerah dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001
tentang Pajak Daerah, yang merupakan pengganti dari Peraturan Pemerintah Nomor
19 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah. Hal ini merupakan penentuan objek pajak
secara umum, mengingat pemberlakuan suatu jenis pajak secara umum, mengingat
pemberlakuan suatu jenis pajak daerah pada suatu Provinsi atau Kabupaten/Kota
ditetapkan dengan Peraturan Daerah, untuk mengetahui apa yang menjadi objek
pajak harus dilihat apa yang ditetapkan Peraturan Daerah dimaksud sebagai objek
pajak.
Berbeda dengan ketentuan
dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2000, dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 dengan tegas
dinyatakan apa yang menjadi objek pajak suatu jenis pajak daerah. Memberikan
kepastian guna penetapan Peraturan Daerah yang menjadi dasar hukum pemungutan
suatu jenis pajak daerah pada suatu daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota.
Selain apa yang menjadi objek pajak, dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang PDRD juga dengan tegas disebutkan apa yang dikecualikan dari objek
pajak.[56]
Objek pajak daerah terhadap
pajak kendaraan bermotor didalam Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang
Pajak Daerah Pasal 2 yaitu :
1. Objek pajak kendaraan
bermotor adalah kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
2. Dikecualikan objek pajak
kendaraan bermotor adalah kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor
oleh :
a. Pemerintah pusat dan
pemerintah daerah.
b. Kedutaan, konsulat,
perwakilan negara asing dan perwakilan lembaga-lembaga internasional dengan
asas timbal balik.
c. Subjek pajak lainnya yang
diatur dengan Peraturan Daerah.
2. Subjek Pajak Daerah
Pemungutan pajak daerah terdapat
dua istilah yang kadang disamakan
walaupun sebenarnya memiliki pengertian yang berbeda, subjek pajak dan wajib
pajak. Dalam beberapa jenis pajak, seperti pajak kendaraan bermotor dan
kendaraan diatas air, subjek pajak identik dengan wajib pajak, yaitu setiap
orang atau badan memenuhi ketentuan sebagai subjek pajak diwajibkan untuk
membayar pajak sehingga secara otomatis menjadi wajib pajak. Sementara itu,
pada beberapa jenis pajak daerah yang lain, seperti pajak hotel, pihak yang
menjadi subjek pajak (yaitu melakukan pembayaran pajak) tidak sama dengan wajib
pajak, yaitu pengusaha hotel yang diberi kewenangan untuk memungut pajak dari
konsumen (subjek pajak). Oleh karena itu, kedua istilah tersebut, yaitu subjek
pajak dan wajib pajak harus dipahami secara benar.[57]
Pajak daerah Seperti yang telah
dikemukakan pada terminologi yang digunakan, subjek pajak adalah orang pribadi
atau badan yang dikenakan pajak daerah. Dengan demikian, siapa saja, baik orang
atau badan, yang memenuhi syarat objektif yang ditentukan dalam suatu Peraturan
Daerah tentang pajak daerah, akan menjadi subjek pajak. Sementara itu, wajib
pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan
perpajakan daerah diwajibkan untuk melakukan pembayaran pajak yang terutang,
termasuk pemungut atau pemotong pajak tertentu. Oleh sebab itu, seseorang atau
suatu badan menjadi wajib pajak apabila telah ditentukan oleh Peraturan Daerah
untuk melakukan pembayaran pajak, serta orang atau badan yang diberi kewenangan
untuk memungut pajak dari subjek pajak. Menunjukan bahwa wajib pajak dapat
merupakan subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak maupun pihak
lain, yang bukan merupakan subjek pajak, yang berwenang untuk memungut pajak
dari subjek pajak. Pengertian siapa yang menjadi subjek pajak dan wajib pajak
pada suatu jenis pajak daerah ditentukan secara jelas dalam Peraturan Daerah
yang mengatur pajak daerah bersangkutan. Penetapan apakah subjek pajak adalah
sama dengan wajib pajak tergantung pada jenis pajak bersangkutan. Dapat
terlihat jelas sesuai dengan definisi yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah
dimaksud.[58]
Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Pasal 1 ayat (44) yang berbunyi,
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenakan Pajak.
2.
Retribusi Daerah
a. Definisi Retribusi Daerah
Pemungutan retribusi daerah
terdapat beberapa istilah yang umum digunakan. Istilah tersebut diatur dalam
Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
No.34 Tahun 2000. Penerapan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 menyebabkan adanya
penambahan dan beberapa perubahan
istilah pajak daerah. Selengkapnya istilah dalam pengenaan dan pemungutan pajak
daerah adalah sebagaimana dibawah ini.[59]
Beberapa pengertian istilah
yang terkait dengan retribusi daerah antara lain :
1.
Retribusi daerah yang selanjutnya disebut retribusi adalah, Pungutan daerah
sebagai pembayaran atas jasa atau
pemeberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh
pemeritah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
2.
Jasa adalah Kegiatan pemerintah
daerah berupa usaha dan pelayanan yang menyebabkan barang, fasilitas atau
kemanfaatan lainnya yang dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
3.
Jasa Umum adalah Jasa yang disediakan atau yang diberikan oleh
pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kamanfaatan umum serta dapat
dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
4.
Jasa Usaha adalah Jasa yang disediakan
oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip-prinsip komersial karena pada
dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
5.
Perizinan Tertentu adalah Kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka
pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk
pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan, atas kegiatan pemanfaatan
ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas
tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian umum.[60]
Menurut Erly Suandy, dapat
menyimpulkan bahwa definisi dari Retribusi Daerah, adalah Pungutan sebagai
pembayaran atas jasa yang disediakan oleh pemerintah.[61] Dan definisi terdapat
dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 Pasal 1 ayat (64).
b. Jenis-Jenis Retribusi Daerah
Kelompok jasa yang menjadi
objek retribusi daerah dapat dilakukan penggolongan retribusi daerah.
Penggolongan jenis retribusi dimaksudkan guna menetapakan kebijakan umum
tentang prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi daerah. Sesuai
Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 Pasal 18 ayat (2) dan Undang-Undang No. 28
Tahun 2009 Pasal 108 ayat (2-4), retribusi daerah dibagi atas tiga golongan
yaitu :
1.
Retribusi Jasa Umum, adalah Jasa yang disediakan atau yang diberikan oleh
pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kamanfaatan umum serta dapat
dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
2.
Retribusi Jasa Usaha, adalah Jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan
menganut prinsip-prinsip komersial
karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
3.
Retribusi Perizinan Tertentu, adalah Kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka
pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk
pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan, atas kegiatan pemanfaatan
ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas
tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian umum.
Golongan atau jenis-jenis
retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu
ditetapkan dengan peraturan pemerintah berdasarkan kriteria tertentu, penetapan
retribusi jasa umum dan retribusi jasa usaha dengan Peraturan Pemerintah dimaksudkan
agar tercipta ketertiban dalam penerapannya sehingga dapat memberikan kepastian
bagi masyarakat dan disesuaikan dengan kebutuhan daerah yang bersangkutan.
Penetapan jenis-jenis perizinan tertentu dengan Peraturan Pemerintah dilakukan
karena perizinan tersebut, walaupun merupakan kewenang pemerintah daerah, tetap
memerlukan koordinasi dengan instansi-instansi tehnis terkait.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 149 Ayat (2-4), penetapan
jenis retribusi jasa umum dan retribusi perizinan tertentu untuk daerah
Provinsi atau daerah Kabupaten/Kota disesuaikan dengan kewenangan daerah
masing-masing sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hal yang
sama berlaku untuk penetapan jenis retribusi jasa usaha untuk daerah Provinsi
dan daerah Kabupaten/Kota dilakukan sesuai jasa/pelayanan yang diberikan oleh
daerah masing-masing. Rincian jenis objek dari setiap retribusi jasa umum,
retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu diatur dalam Peraturan
Daerah yang bersangkutan.[62]
Retribusi daerah yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 adalah sebagaimana di bawah ini :
a)
Retribusi jasa umum yang meliputi :
1)
Retribusi pelayanan kesehatan
2)
Retribusi pelayanan persampahan/kebersihan
3)
Retribusi penggantian biaya cetak kartu tanda penduduk dan
akta catatan sipil
4)
Retribusi pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat
5)
Retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum
6)
Retribusi pelayanan pasar
7)
Retribusi pegujian pelayanan kendaraan bermotor
8)
Retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran
9)
Retribusi penggantian biaya cetak peta
10) Retribusi penyediaan dan
atau penyedotan kaskus
11) Retribusi pengolahan limbah
cair
12) Retribusi pelayanan
tera/teraulang
13) Retribusi pelayanan
pendidikan, dan
14) Retribusi pengendalian
menara telekomunikasi
b)
Retribusi jasa khusus/jasa usaha yang meliputi :
1.
Retribusi pemakaian kekayaan daerah
2.
Retribusi pasar grosir atau pertokoan
3.
Retribusi tempat pelelangan
4.
Retribusi terminal
5.
Retribusi tempat khusus parkir
6.
Retribusi tempat penginapan/pesanggrahan/vila
7.
Retribusi rumah potong hewan
8.
Retribusi pelayanan kepelabuhan
9.
Retribusi tempat rekreasi dan olahraga
10. Retribusi penyebrangan di
air, dan
11. Retribusi penjualan produksi
usaha daerah
c)
Retribusi perizinan tertentu yang meliputi :
1.
Retribusi izin mendirikan bangunan
2.
Retribusi izin tempat penjualan minuman berakohol
3.
Retribusi izin gangguan
4.
Retribusi izin trayek
5.
Retribusi izin usaha perikanan.[63]
c. Objek dan Subjek Retribusi
Daerah
1.
Objek Retribusi Daerah
Undang-Undang Nomor 34 Tahun
2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pasal 18 ayat (1) menentukan
bahwa objek retribusi adalah berbagai jenis jasa tertentu yang disediakan oleh
pemerintah daerah. Tidak semua jasa yang diberikan oleh pemerintah daerah dapat
dipungut retribusinya, tetapi hanya jenis-jenis jasa tertentu yang menurut
pertimbangan sosial-ekonomi layak dijadikan sebagai objek retribusi. Jasa
tertentu tersebut dikelompokan kedalam tiga golongan, yaitu jasa umum, jasa
usaha, dan perizinan tertentu. Hal ini juga diatur didalam Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dengan demikian, objek
retribusi terdiri dari tiga kelompok jasa sebagaimana dibawah ini.[64]
Jasa yang menjadi objek retribusi hanya jasa yang
diselenggarakan oleh pemerintah daerah secara langsung. Apabila ada jasa yang
diselenggarakan oleh perangkat pemerintah daerah, tetapi tidak secara langsung,
misalkan oleh BUMD, jasa tersebut tidak dikenakan retribusi. Sesuai Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 19 yang
menjelaskan,
Jasa yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Daerah bukan merupakan
obyek retribusi.
Jasa yang secara khusus dikelola oleh BUMD tidak merupakan
objek retribusi, tetapi sebagai penerimaan
BUMD sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada
dasarnya BUMD merupakan badan usaha yang dimiliki daerah, tetapi dalam
melaksanakannya kegiatannya berdiri secara sendiri dan terlepas dari pemerintah
daerah. Oleh karena itu, jasa yang diberikan BUMD bukanlah jasa yang
diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Apabila BUMD memanfaatkan jasa atau
perizinan tertentu yang diberikan oleh pemerintah daerah, BUMD wajib membayar
retribusi daerah.[65]
Penjelasan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah, dimana objek tersebut terdapat
dalam Pasal 2 ayat (1) yang menjelaskan bahwa,
Objek Retribusi jasa umum adalah Pelayanan yang disediakan atau
diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum
serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
Pasal 3 ayat (1) yang
berbunyi :
Objek Retribusi Jasa Usaha adalah pelayanan yang disediakan oleh
pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial.
Pasal 4 ayat (1) yang
berbunyi :
Objek Retribusi Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu pemerintah
daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang
dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan sumber
daya alam, barang, prasarana, saean, atau fasilitas tertentu guna meleindungi
kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
2.
Subjek Retribusi Daerah
Subjek retribusi jasa umum,
adalah Orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan jasa umum
yang bersangkutan. Sedangkan yang menjadi wajib retribusi jasa umum adalah
orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut
atau pemotong retribusi jasa umum.[66] Dan terdapat dalam
Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah Pasal 2 ayat (3).
Subjek retribusi jasa usaha,
adalah Orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan jasa usaha
yang bersangkutan. Sedangkan yang menjadi wajib pajak retribusi jasa usaha
adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut
atau pemotong retribusi jasa usaha.[67] Dan terdapat dalam Peraturan Pemerintah No.
66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah Pasal 3 ayat (3).
Subjek retribusi perizinan
tertentu adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh izin tertentu dari
pemerintah daerah. Sedangkan yang menjadi wajib retribusi perizinan tertentu
adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi,
termasuk pemungut atau pemotong retribusi perizinan tertentu.[68] Dan terdapat dalam
Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah Pasal 4 ayat (3).
d.
Retribusi Jasa Usaha Rumah
Potong Hewan
Retribusi jasa usaha, adalah
Retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut
prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor
swasta. Objek retribusi jasa usaha adalah pelayanan yang disediakan oleh
pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial. Pelayanan yang disediakan
oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial meliputi :
1.
Pelayanan dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan daerah
yang belum dimanfaatkan secara optimal; dan
2.
Pelayanan oleh pemerintah daerah sepanjang belum memadai
disediakan oleh pihak swasta.[69]
Sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pasal 18 ayat (3)
huruf (b), retribusi jasa usaha ditentukan berdasarkan kriteria berikut ini :
a.
Retribusi jasa usaha bersifat bukan pajak dan bersifat bukan
retribusi jasa umum atau retribusi perizinan tertentu.
b.
Jasa yang bersangkutan, adalah Jasa yang bersifat komersial
yang seyogiannya disediakan oleh sektor swasta tetapi belum memadai atau
terdapatnya harta yang dimiliki/dikuasai daerah yang belum dimanfaatkan secara
penuh oleh pemerintah daerah. Pengertian harta adalah semua harta yang bergerak
dan tidak bergerak, tidak termasuk uang kas, surat-surat berharga, dan harta
lainnya yang bersifat lancar (current
asset).[70]
Jenis-Jenis retribusi usaha
saat ini diatur dalam dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah Pasal 127-138. Sebagaimana Retribusi rumah potong hewan
termasuk kedalam jenis retribusi jasa usaha yang terdapat dalam Pasal 134 UU
No. 28 Tahun 2009 yang menjelaskan bahwa,
1) Objek Retribusi Rumah Potong Hewan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 huruf (g) adalah pelayanan penyediaan
fasilitas rumah pemotongan hewan ternak termasuk pelayanan pemeriksaan
kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki,
dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
2) Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan penyediaan fasilitas rumah pemotongan
hewan ternak yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh BUMN, BUMD, dan
pihak swasta.[71]
Retribusi jasa usaha rumah potong hewan dijelaskan didalam Peraturan
Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 terdapat dalam Pasal 3 ayat (2) Huruf (h), yaitu
retribusi rumah potong hewan, dan dalam penjelasannya menyatakan bahwa,
Pelayanan rumah
ptotong hewan adalah pelayanan penyedian fasilitas rumah potong hewan ternak
termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong,
yang dimiliki dan/atau dikelola oleh pemerintah daeah.[72]
Retribusi jasa usaha rumah potong hewan dijelaskan lebih rinci dan jelas
diatur dalam Peraturan Daerah tingkat II Kabupaten/Kota Kuningan yaitu Perda
No. 17 Tahun 1998 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan didalam Pasal 3 yaitu
menjelaskan bahwa, retribusi rumah potong hewan digolongkan sebagai Retribusi
Jasa Usaha.[73]
Retribusi jasa usaha rumah potong hewan dalam peraturan ternyata diatur
secara berurutan dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah sampai Peraturan
Daerah saling berkaitan.
e.
Prinsip Dan Sasaran
Penetapan Tarif Retribusi Daerah
Retribusi yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang menggunakan jasa atau perizinan tertentu dengan
cara pengalihan tingkat penggunaan jasa dengan tarif retribusi. Dengan
demikian, besarnya yang terutang dihitung berdasarkan tarif retribusi dan
tingkat penggunaan jasa.[74]
Tingkat penggunaan jasa,
adalah Jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang
dipikul pemerintah daerah untuk penyelengaraan jasa yang bersangkutan. Misalkan
berapa kali masuk tempat rekreasi, berapa kali/berapa jam parkir kendaraan, dan
sebagainya. Akan tetapi, adapula penggunaan jasa yang tidak dapat dengan mudah
diukur. Apabila tingkat penggunaan jasa sulit diukur maka tingkat penggunaan jasa dapat ditaksir
berdasarkan rumus yang dibuat oleh pemerintah daerah.[75]
Tarif retribusi, adalah Nilai
rupiah atau presentase tertentu yang ditetapkan untuk menghitung besarnya
retribusi daerah yang terutang. Tarif retribusi dapat ditentukan seragam atau
bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif
retribusi. Misalkan pembedaan retribusi tempat rekreasi antara anak dan dewasa,
retribusi parkir antara sepeda motor dan mobil, retribusi pasar antara kios dan
los, dan retribusi sampah antara rumah tangga dan industri. Besarnya tarif
dapat dapat dinyatakan dalam rupiah per/unit tingkat penggunaan jasa.[76]
Tarif retribusi daerah
ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan memperhatikan prinsip dan sasaran
penetapan tarif yang berbeda antara golongan retribusi daerah. Sesuai dengan Pasal
21 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
dan Pasal 8-10 Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 prinsip dan sasaran
dalam penetapan tarif retribusi daerah ditentukan sebagai berikut :
1.
Tarif retribusi jasa umum ditetapkan berdasarkan kebijakan
daerah dengan mempertimbangkan biaya penyedian jasa yang bersangkutan,
kemampuan masyarakat, dan aspek keadilan. Penetapan tarif retribusi jasa umum
pada dasarnya disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
mengenai jenis-jenis retribusi yang berhubungan dengan kepentingan nasional.
Disamping itu tetap memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat.
Dengan ketentuan ini maka daerah mempuyai kewenangan untuk menetapkan prinsip
dan sasaran yang dicapai dalam menetapkan tarif retribusi jasa umum. Seperti
untuk menutup sebagian atau sama dengan
biaya penyedian jasa yang bersangkutan dan membantu golongan masyarakat kurang
mampu sesuai dengan jenis pelayanan yang diberikan. Dengan demikian, prinsip
dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi jasa umum dapat dapat berbeda
menurut jenis pelayanan dalam jasa yang bersangkutan dan golongan pengguna
jasa. Sebagai contoh dapat dilihat berikut ini.
a) Tarif retribusi persampahan
untuk golongan masyarakat mampu dapat ditetapkan sedemikian rupa sehingga dapat
menutupi biaya pengumpulan, transportasi, dan pembuangan sampah. Sedangkan
untuk golongan masyarakat yang kurang mampu tarif ditetapkan lebih rendah.
b) Tarif rawat inap kelas
tinggi bagi retribusi pelayanan rumah sakit umum daerah umum daerah dapat
ditetapkan lebih besar daripada biaya pelayanannya sehingga memungkinkan adanya
subsidi silang bagi tarif rawat inap kelas yang lebih rendah.
c) Tarif retribusi parkir
ditepi jalan umum yang rawan kemacetan dapat ditetapkan lebih tinggi daripada
jalan umum yang kurang rawan kemacetan dengan sasaran mengendalikan
tingkat penggunaan jasa parkir sehingga
tidak menghalangi kelancaran lalulintas.[77]
2.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 153,
prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi jasa usaha didasarkan pada
tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak. Keuntungan yang layak adalah
keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan
secara efisien dan beroreantasi pada harga pasar.
3.
Tarif retribusi perizinan tertentu ditetapkan berdasarkan
pada tujuan untuk menutupi sebagian atau
seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. Tarif
retribusi perizinan tertentu ditetapkan sedemikian rupa sehingga hasil
retribusi dapat menutup sebagian atau seluruh perkiraan biaya yang diperlukan
untuk menyediakan jasa yang besangkutan. Biaya penyelenggaraan izin yang
bersangkutan meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan dilapangan, penegakan
hukum, penatausahan, dan biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
Untuk pemberian izin bangunan, misalkan, dapat diperhitungkan biaya pengecekan
dan pengukuran lokasi, biaya pemetaan dan biaya pengawasan.[78]
Besarnya retribusi daerah yang harus dibayar oleh
orang pribadi atau badan yang menggunakan jasa yang bersangkutan dihitung dari
perkalian antara tarif retribusi dan tingkat penggunaan jasa.[79]
3.
Definisi Hewan Unggas dan
Ruma Potong Hewan
Unggas (poultry)
adalah jenis ternak bersayap dari kelas Aves
yang telah didomestikasikan dan cara hidupnya diatur oleh manusia dengan
tujuan untuk memberikan nilai ekonomis dalam bentuk barang (daging dan telur)
dan jasa (pendapatan). Termasuk kelompok unggas
ayam (petelur dan pedaging), ayam kampung, itik, kalkun, burung puyuh,
burung merpati, dan angsa yang sekarang sudah diusahakan secara komersial.
Sementara itu, burung mutiara, kasuari dan burung unta masih dijejaki
kemungkinannya untuk diternakan secara komersial.[80]
Unggas (poultry)
adalah jenis hewan ternak kelompok burung yang
dimanfaatkan untuk daging
dan/atau telurnya.
Umumnya merupakan bagian dari ordo galliformes
(seperti ayam
dan kalkun),
dan anseriformes (seperti bebek). Kata unggas juga
umumnya digunakan untuk burung pedaging seperti diatas.
Lebih luasnya, kata ini juga dapat digunakan untuk daging burung jenis lain
seperti merpati.[81]
Hewan atau
disebut juga dengan binatang
adalah kelompok organisme yang diklasifikasikan dalam kerajaan animalia atau metazoa, adalah
salah satu dari berbagai makhluk hidup di Bumi. Sebutan lainnya
adalah fauna dan margasatwa (atau satwa saja). Hewan dalam pengertian sistematika
modern mencakup hanya kelompok bersel
banyak (multiselular) dan terorganisasi dalam fungsi-fungsi yang berbeda
(jaringan), sehingga kelompok ini disebut juga histozoa. Semua
binatang heterotrof,
artinya tidak membuat energi sendiri, tetapi harus mengambil dari lingkungan
sekitarnya.
Kata "hewan" berasal dari bahasa Latin
yaitu "animalis", yang berarti "memiliki napas". Dalam
penggunaan nonformal sehari-hari, kata tersebut biasanya mengacu pada hewan
bukan manusia. Kadang-kadang, kerabat dekat manusia seperti mamalia
dan vertebrata
lainnya ditujukan dalam penggunaan nonformal. Definisi biologis dari kata
tersebut mengacu pada semua anggota kingdom Animalia, meliputi makhluk yang
beragam seperti spons,
ubur-ubur,
serangga
dan manusia.[82]
Menurut Perda Kab. Kuningan
No. 17 Tahun 1998 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan, terdapat dalam Pasal 1
Huruf (f) yaitu: Hewan adalah meliputi Hewan Besar, Kecil dan Unggas.
a. Definisi Rumah Potong Hewan
Pengertian tentang Rumah potong hewan dijelaskan dalam Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 dimana terdapat dalam Pasal 134 yang menjelaskan dan
berbunyi sebagai berikut : Ayat (1) yaitu,
Objek Retribusi
Rumah Potong Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 huruf (g) adalah
pelayanan penyediaan fasilitas rumah pemotongan hewan ternak termasuk pelayanan
pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan,
dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
Ayat (2) bahwa,
Dikecualikan dari
objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan penyediaan
fasilitas rumah pemotongan hewan ternak yang disediakan, dimiliki, dan/atau
dikelola oleh BUMN, BUMD, dan pihak swasta.[83]
Peraturan Pemerintah Nomor
66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah, dijelaskan bahwa definisi Rumah Potong
Hewan dalam Penjelasannya Pasal 3 Huruf (h), Yaitu,
Pelayanan rumah potong hewan adalah pelayanan penyedian faasilitas rumah
potong hewan ternak termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan sebelum dan
sesudah dipotong, yang dimilki dan/atau dikelola oleh pemerintah daerah.[84]
Sedangkan dalam Peraturan
Daerah Kab. Kuningan TK II Nomor 17 Tahun 1998 yang berbunyi bahwa,
Rumah Potong Hewan (RPH) adalah suatu rumah atau bangunan tempat
melakukan kegiatan penyimpanan, pemeriksaan dan penyembelihan hewan serta
pemeriksaan dan penyimpanan daging.[85]
b. Objek dan Subjek Rumah
Potong Hewan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 Pasal 134 ayat (1) yaitu : Objek Retribusi Rumah Potong Hewan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 127 huruf (g) adalah pelayanan penyediaan fasilitas rumah
pemotongan hewan ternak termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum
dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh
Pemerintah Daerah.
Peraturan Daerah Kab.
Kuningan No. 17 Tahun 1998 dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (2 dan 3) yang
berbunyi,
Obyek retribusi adalah pelayanan penyediaan fasilitas rumah potong
hewan. Dan Subyek retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan
fasilitas rumah potong hewan.
BAB III
PEMBAYARAN RETRIBUSI PAJAK JASA USAHA RUMAH POTONG HEWAN
UNGGAS DI KABUPATEN KUNINGAN
A.
Implementasi Pembayaran
Retribusi Pajak Rumah Potong Hewan Unggas di Kabupaten Kuningan dihubungkan
dengan Perda Nomor 17 Tahun 1998
Rumah potong hewan di
Kabupaten Kuningan, banyak yang melakukan usaha pemotongan unggas, peternakan,
atau pemotongan yang lainya. Rumah potong hewan unggas di Kabupaten Kuningan
mayoritas RPH swasta yang dibangun oleh pihak swasta baik perseorangan maupun
kelompok, dan RPH yang dimilik Pemerintahan Daerah atau BUMD terdapat satu.
Pemungutan retribusi rumah potong hewan yang ada di Kabupaten Kuningan
dilakukan oleh Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan (DP3), melalui
PUSKESWAN (Pusat Kesehatan Hewan) yaitu merupakan kantor cabang dari DP3
(Bidang Peternakan). Puskeswan yang ditugaskan dalam pemungutan retribusi rumah
potong hewan yang ada di Kabupaten Kuningan terdapat 3 yaitu Kecamatan
Kuningan, Ciawigebang, dan Cilimus. Berdasarkan hasil penelitian yang menjadi
obyek retribusi rumah potong yaitu sebagai berikut :
Tabel 1 : Daftar RPH Unggas
di PUSKESWAN Kecamatan Kuningan-Cigugur yang terkena wajib retribusi setiap
per/bulan sekali
No.
|
Tanggal
Penerimaan
|
Nomor
Seri Karcis
|
Nama
Pedagang
|
Lokasi
Berdagang
|
Jumlah
Setor (Rupiah)
|
1
|
12-April-2012
|
028850
|
Andi
|
Pasar Baru
|
Rp. 5.000
|
2
|
12-April-2012
|
028851
|
Oyoh
|
Pasar Baru
|
Rp. 3.000
|
3
|
12-April-2012
|
028852
|
Hj. Wati
|
Pasar Baru
|
Rp. 35.000
|
4
|
12-April-2012
|
028853
|
Mimin
|
Pasar Baru
|
Rp. 3.000
|
5
|
12-April-2012
|
028854
|
Aim
|
Pasar Baru
|
Rp. 1.000
|
6
|
12-April-2012
|
028855
|
Bedah
|
Pasar Baru
|
Rp. 1.000
|
7
|
12-April-2012
|
028856
|
Eti
|
Pasar Baru
|
Rp. 1.000
|
8
|
12-April-2012
|
028857
|
Juju
|
Pasar Baru
|
Rp. 2.000
|
9
|
12-April-2012
|
028858
|
Onah
|
Pasar Baru
|
Rp. 2.000
|
10
|
12-April-2012
|
028859
|
Ujang
|
Pasar Baru
|
Rp. 10.000
|
11
|
12-April-2012
|
028860
|
Dedeh
|
Pasar Baru
|
Rp. 10.000
|
12
|
12-April-2012
|
028861
|
Yayah
|
Pasar Baru
|
Rp. 2.000
|
13
|
12-April-2012
|
028862
|
Wahyu
|
Pasar Baru
|
Rp. 5.000
|
14
|
12-April-2012
|
028863
|
Oyo
|
Pasar Kepuh
|
Rp. 10.000
|
15
|
12-April-2012
|
028864
|
Dona
|
Pasar Kepuh
|
Rp. 3.000
|
16
|
12-April-2012
|
028865
|
Adnan
|
Pasar Kepuh
|
Rp. 5.000
|
17
|
12-April-2012
|
028866
|
Eman
|
Pasar Kepuh
|
Rp. 2.000
|
18
|
12-April-2012
|
028867
|
Hj. Ohan
|
Pasar Kepuh
|
Rp. 25.000
|
19
|
12-April-2012
|
028868
|
Dadang
|
Pasar Kepuh
|
Rp. 2.000
|
20
|
12-April-2012
|
028869
|
Inah
|
Pasar Kepuh
|
Rp. 2.000
|
21
|
12-April-2012
|
028870
|
Nono
|
Pasar Kepuh
|
Rp. 3.000
|
22
|
12-April-2012
|
028871
|
Entin
|
Pasar Kepuh
|
Rp. 10.000
|
23
|
12-April-2012
|
028872
|
H. Suhri
|
Pasar Kepuh
|
Rp. 5.000
|
24
|
12-April-2012
|
028873
|
Andi
|
Pasar Kepuh
|
Rp. 2.000
|
25
|
12-April-2012
|
028874
|
Onong
|
Pasar Baru
|
Rp. 10.000
|
26
|
12-April-2012
|
028875
|
As. Putra (RPU)
|
Winduhaji
|
Rp. 100.000
|
|
|
|
|
Jumlah
|
Rp. 259.000
|
Berdasarkan
tabel diatas menunjukan bahwa pemungutan yang dilakukan oleh Puskeswan
Kecamatan Kuningan yang berada di Desa Cigugur pada bulan April 2012 yaitu
sebesar Rp. 259.000 /bulan, Puskeswan Kec. Kuningan diberi tugas berkewajiban
melakukan penyetoran sebesar Rp. 2.500.000,- /Tahun kepada kantor pusat yaitu
DP3.[86]
Tabel 2 : Daftar RPH di
PUSKESWAN Kec. Ciawigebang-Kadurama
No.
|
Nama
|
Jenis Usaha
|
Jumlah (Rp)
|
Alamat
|
1
|
Siti
|
Ayam
|
1.000
|
Ciawilor
|
2
|
Bardu
|
Ayam
|
1.000
|
Ciawilor
|
3
|
Elin
|
Ayam
|
1.000
|
Ciawilor
|
4
|
Bu. Guru
|
Ayam
|
2.000
|
Ciawilor
|
5
|
Poniman
|
Ayam
|
2.000
|
Ciawilor
|
6
|
Dedi
|
Ayam
|
1.000
|
Kadurama
|
7
|
Tati
|
Ayam
|
1.000
|
Kadurama
|
8
|
Eru
|
Ayam
|
1.000
|
Kadurama
|
9
|
Irah
|
Ayam
|
1.000
|
Kadurama
|
10
|
Titin
|
Ayam
|
1.000
|
Kadurama
|
11
|
Rus
|
Ayam
|
1.000
|
Kadurama
|
12
|
Nana
|
Ayam
|
2.000
|
Kadurama
|
13
|
Yunus
|
Ayam
|
2.000
|
Kadurama
|
14
|
H. Dudi
|
Ayam
|
1.000
|
Pangkalan
|
15
|
Lilis
|
Ayam
|
1.000
|
Pangkalan
|
16
|
Inah
|
Ayam
|
1.000
|
Pamulihan
|
17
|
Dadang
|
Domba
|
2.000
|
Ciawilor
|
18
|
Endang
|
Domba
|
2.000
|
Ciawilor
|
19
|
Nunu
|
Domba
|
2.000
|
Ciawilor
|
20
|
Ruknia
|
Domba
|
2.000
|
Ciawilor
|
21
|
H. Abyas
|
Domba
|
2.000
|
Taraju
|
22
|
Engkus
|
Domba
|
2.000
|
Ciawilor
|
23
|
Encum
|
Domba
|
2.000
|
Pangkalan
|
24
|
Asdi
|
Domba
|
2.000
|
Ciawilor
|
25
|
Iwan
|
Sapi
|
5.000
|
Ciawilor
|
26
|
Ali
|
Sapi
|
5.000
|
Ciawigebang
|
27
|
H. Udin
|
Sapi
|
5.000
|
Ciawigebang
|
28
|
Dedi
|
Sapi
|
5.000
|
Taraju
|
29
|
Didi
|
Sapi
|
7.000
|
Ciawigebang
|
30
|
Enjum
|
Sapi
|
10.000
|
Kadurama
|
31
|
Mahnun
|
RPA
|
20.000
|
Ciawilor
|
32
|
Mamat
|
RPA
|
20.000
|
Kalimanggis
|
|
|
Jumlah
|
113.000
|
|
Berdasarkan
tabel diatas menunjukan bahwa pemungutan retribusi rumah potong hewan yang
dilakukan oleh Puskeswan Kecamatan Ciawigebang pemungutannya dilaksanakan
seminggu sekali. Pemungutan retribusi tidak jauh berbeda dengan Puskeswan yang
lainnya yaitu sama dalam penyetorannya kepada DP3, akan tetapi berbeda dalam
pemungutan yang dilaksanakannya, berbeda dalam pemungutannya ialah tidak
melakukan pengujian/pemeriksaan hewan terlebih dahulu, tidak seperti Puskeswan
yang di Kec. Kuningan melakukan pemeriksaan. Sedangkan Puskeswan Kecamatan
Ciawigebang berkewajiban melakukan target penyetoran kepada DP3 sebesar Rp.
3.000.000,- /Tahun. Data yang diperoleh dari DP3 yang melakukan usaha RPH
berjumlah 58 orang yang masih aktif dalam membayar retribusi, padahal di Kab.
Kuningan masih banyak yang melakukan usaha RPH akan tetapi kesadaran dan
kepedulian masyarakat terhadap retribusi masih kurang.
Implementasi pemungutan retribusi rumah potong hewan unggas
di Kab. Kuningan dilaksanakan dari aparatur pemerintahan dari tingkat atas
sampai tingkat bawah, yang dimaksud adalah bahwa Pemerintahan Daerah Kabupaten
memberikan tugas dan kewenangan terhadap Dinas Pertanian, Peternakan dan
Perikanan (DP3). Yang menjadi landasan hukum Pemerintah Daerah memberikan tugas
dan kewenangannya kepada DP3 berdasarkan Peraturan Daerah Kab. Kuningan No. 11
Tahun 2008 tentang Dinas Daerah Pasal 23 tentang Pembiayaan, berbunyi,
Pembiayaan Dinas Daerah dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Kabupaten Kuningan.
yang dimaksud adalah bahwa setiap Dinas Daerah yang ada di
Kabupaten Kuningan berkewajiban melakukan penyetoran kepada Dinas Pendapatan
Daerah (DIPENDA). Sedangkan Pasal 22 (1) tentang Tata Kerja Dinas Daerah
menjelaskan bahwa,
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Kepala Dinas, Sekretaris, Kepala Bidang, Kepala Sub Bagian,
Seksi dan Kelompok Jabatan Fungsional wajib menerapkan prinsip koordinasi,
integrasi dan sinkronisasi baik dalam lingkungannya masing-masing maupun antar
kesatuan organisasi di lingkungan Pemerintah Daerah serta instansi lain di luar
Pemerintah Daerah sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing.
Berdasarkan Pasal 22 DP3 berkewajiban melaksanakan tugasnya
masing-masing, adapun tugas dan fungsi DP3 Kabupaten Kuningan yaitu :
1.
Melaksanakan Otonomi Daerah di Bidang
Pertanian yang mencakup Tanaman Pangan, Hortikurtura, Peternakan dan Perikanan.
2.
Perumusan kebijakan teknis di bidang
pertanian, peternakan dan perikanan.
3.
Pelaksanaan dan penyelenggaraan
kebijakan teknis di bidang pertanian, peternakan dan perikanan.
4.
Pemberian rekomendasi teknis dalam
hal perijinan yang dikeluarkan oleh Lembaga berwenang dan pelaksanaan pelayanan
prima untuk umum.
5.
Pembinaan terhadap unit-unit kerja di
lingkungan Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan.
6.
Pengelolaan urusan ketatausahaan
Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan.
7.
Menggali sumber-sumber Pendapatan
asli daerah dari Pertanian, Perikanan, dan Peternakan.[87]
Peraturan Bupati Nomor 41 Tahun 2008 tentang Tugas Pokok,
Fungsi dan Uraian Tugas Dinas Pendapatan, UPTD yang berkawajiban melakukan
penyetoran terhadap Dipenda, salah satunya merupakan sumber dari pendapatan
asli daerah misalkan pajak dan retribusi rumah potong hewan yang dilakukan oleh
DP3 berkewajiban melakukan penyetoran terhadap DIPENDA yaitu sebesar Rp.
24.000.000,- /tahun kepada DIPENDA sebagai PAD.
Dinas Pertanian, Perikanan dan Peternakan mempuyai tugas dan
kewenangannya setiap Bidangnya masing-masing, dalam pemungutan retribusi RPH
dilakukan oleh Bidang Peternakan,
yang mempuyai kantor cabang yaitu PUSKESWAN (Pusat Kesehatan Hewan) yang
merupakan pegawai dari DP3 yang diberi tugas sebagai berikut :
1.
Melakukan pengujian kesehatan terhadap hewan
2.
Melakukan pemeriksaan hewan
3.
Melakukan pemungutan retribusi rumah potong hewan
4.
Membayar kewajiban setor kepada bendahara DP3
Prosedur dalam pelaksanaan pemungutan retribusi rumah potong
hewan yang berada di Kabupaten Kuningan pemungutannya dilakukan oleh pegawai
DP3 oleh kantor cabang PUSKESWAN disetiap Kecamatan dengan mendatangi langsung
terhadap pemilik rumah potong hewan unggas, pemungutannya yang dilakukan secara
langsung dilakukan setiap seminggu sekali dan ada juga yang dipungut setiap
sebulan sekali. Hasil Observasi
jumlah rupiah yang dipungut oleh petugas DP3 tidak berdasarkan Perda No. 17
Tahun 1998 Pasal 9 tentang Besar Tarifnya. Pemungutan retribusi yang ditentukan
oleh DP3 berdasarkan kemampuan pemilik RPH unggas dan jumlah pemotongan perhari
dikali dengan jumlah rupiah pemeriksaan daging yaitu Rp. 50.- /Kg (Pasal 9
Huruf (d)). Petugas pemungutan melakukan langsung kelokasi RPH yang terkena
wajib retribusi dengan membawa sujumlah Karcis atau Tanda Bukti Pembayaran
sebagai bukti telah melakukan pembayaran yang ditanda tangani petugas
pemungutan dan diberi cap DP3.[88]
Peraturan yang menjadi
prosedur pembayaran retribusi terdapat dalam Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun
1998 Pasal 11 diatur mengenai Tata Cara Pemungutan yaitu,
(1)
Pemungutan
retribusi tidak dapat diborongkan.
(2)
Retribusi
dipungut dengan menggunakan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.[89]
Pemungutan retribusi tidak
dapat diborongkan. Artinya seluruh proses kegiatan pemungutan retribusi tidak
dapat diserahkan kepada pihak ketiga. Namun, dalam pengertian ini bukan berarti
bahwa pemerintah daerah tidak boleh bekerja sama dengan pihak ketiga. Dengan
sangat selektif dalam pemungutan retribusi, pemerintah daerah dapat mengajak
bekerja sama badan-badan tertentu yang karena profesionalismennya layak
dipercaya untuk ikut melaksanakan sebagian tugas pemungutan jenis retribusi
tertentu secara lebih efisien. Kegiatan pemungutan retribusi yang tidak dapat
dikerjasamakan dengan pihak ketiga adalah kegiatan perhitungan besarnya
retribusi yang terutang, pengawasan penyetoran retribusi, dan penagihan
retribusi. Retribusi dipungut dengan menggunakan Surat Ketetapan Retribusi
Daerah (SKRD) atau dokumen lain yang dipersamakan. Antara lain berupa karcis
masuk, kupon, dan kartu langganan.[90]
Mengukur tingkat penggunaan
jasa dan prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besarnya tarif terdapat dalam Perda No. 17 Tahun 1998 yaitu Pasal 8 dan
Pasal 9 diantaranya :
Pasal 8
(1)
Tingkat
penggunaan jasa Retribusi Rumah Potong diukur berdasarkan jenis hewan, jenis
pemeriksaan, volume/sampel dan unsur bahan pemeriksaan.
(2)
Prinsip
Penetapan Tarif Retribusi Rumah Potong Hewan didasarkan kepada tujuan untuk memperoleh
keuntungan yang layak sebagai pengganti biaya administrasi, biaya pembangunan,
perawatan Rumah Potong, kebersihan dan pelayanan pemotongan hewan.
Pasal 9
Struktur dan
besarnya tarif retribusi untuk setiap ekor ditetapkan sebagai berikut:
A. Hewan Besar.
d. Pemakaian Kandang.................................................. Rp. 1.500,00
e. Pemotongan Hewan ................................................. Rp. 4.500,00
f. Penyimpanan Daging ............................................... Rp. 1.000,00
B. Hewan Kecil.
d. Pemakaian Kandang ................................................. Rp. 200,00
e. Pemotongan Hewan ................................................. Rp. 2.500,00
f. Penyimpanan Daging................................................ Rp. 200,00
C. Unggas.
d. Pemakaian Kandang ................................................. Rp. 20,00
e. Pemotongan Hewan ................................................. Rp. 150,00
f. Penyimpanan Daging................................................ Rp. 20,00
D. Biaya pemeriksaan ulang daging untuk setiap
Kg......... Rp. 50,00
(3) Biaya Penyembelihan dimaksud huruf a, b dan c
ayat (2) pasal ini belum termasuk ongkos Jagal atau Petugas Penyembelih.[91]
Peraturan Daerah yang telah
dijelaskan diatas ternyata antara harapan dan kenyataan tidak sesuai, dalam
prosedur pemungutan menentukan jumlah tarif retribusi dengan peraturan daerah
yang sudah ditetapkan, dan beberapa wawancara yang sudah disampaikan oleh
petugas pemungut DP3. Berdasarkan Pasal 9 huruf (a,b,c dan d) bahwa sudah jelas
jumlah biaya yang seharusnya dibayarkan oleh wajib retribusi, akan tetapi dalam
kenyataannya yang berlaku hanya Pasal 9 huruf (d) yaitu pemeriksaan daging,
untuk hewan besar, kecil dan unggas kurang diberlakukan, padahal apabila
diberlakukan dapat meningkatkan PAD, disinilah masyarakat di Kab. Kuningan
masih kurang peduli dan kesadarannya terhadap retribusi.
Penulis dapat menyimpulkan
dari hasil penelitian dalam melakukan proses prosedur pembayaran retribusi
rumah potong hewan unggas di Kabupaten Kuningan dihubungkan dengan Perda No. 17
Tahun 1998, diantaranya :
1.
Pemungutan pembayaran dilakukan langsung oleh pegawai Dinas
Pertanian, Peternakan dan Perikanan melalui kantor cabang yaitu PUSKESWAN
2.
Puskeswan malakukan pengujian sample kesehatan hewan terlebih
dahulu.
3.
Pemungutan dilakukan langsung ditempat/lokasi rumah potong
hewan unggas.
4.
Pemungutannya dilakukan setiap seminggu sekali, atau sebulan
sekali
5.
Jumlah pembayaran dihitung, pemotongan perhari dikali
pemeriksaan daging.
6.
Pemungutannya tidak dapat diborongkan.
7.
Retribusi dipungut dengan menggunakan SKRD atau dokumen lain
yang dipersamakan. Karcis Atau Tanda Bukti Pembayaran.
8.
Puskeswan berkewajiban melakukan penyetoran kepada bendahara
DP3, dan
9.
DP3 berkewajiban melakukan penyetoran kepada DIPENDA sebagai sumber
PAD.
B.
Kendala Pembayaran Retribusi
Pajak Rumah Potong Hewan Unggas di Kabupaten Kuningan dihubungkan dengan Perda
Nomor 17 Tahun 1998
Kendala dalam pemungutan
pembayaran retribusi rumah potong hewan unggas di Kabupaten Kuningan yang harus
dilalui untuk mendapatkan sejumlah uang dari wajib retribusi, Kendala yang
dihadapi dalam pemungutan yaitu Pertama, subyek
RPH di Kabupaten Kuningan yang terkena wajib retribusi masih banyak yang kurang
cakap terhadap peraturan Perda No. 17 Tahun 1998 yang mengatur retribusi rumah
potong hewan, jadi petugas selaku pemungut mendapatkan kendala akan
keterbatasan pemilik RPH di Kab. Kuningan mengenai pemungutan retribusi,
apabila subyek mengerti terhadap peraturan yang sudah ditentukan dapat
menigkatkan pendapatan daerah. Kedua, tentang
jumlah tarif, subyek RPH menganggap terlalu besar jumlah tarif yang ditentukan
dalam peraturan tersebut, yang artinya bila terlalu tinggi, rata-rata pemilik
RPH menjadi enggan membayar retribusi, namun apabila rendah, maka pembangunan daerah
akan kurang berjalan dengan cepat karena dana yang dipungut kurang, jadi DP3
dalam menentukan jumlah tarif yang dipakai dalam Perda Pasal 9 huruf (d) yaitu
pemeriksaan daging dikali (x) dengan jumlah pemotongan perhari.
Ketiga, Subyek RPH yang terkena wajib retribusi telat dalam
pembayaran atau sering ditunda-tunda, terkadang melakukan yang tidak diinginkan
oleh petugas pemugutan, seperti menghindari petugas dengan alasan/pura-pura
untuk menghindarinya. Keempat, subyek
RPH kurang akan kesadaran melakukan pembayaran langsung, adapun petugas
pemungutan retribusi mendatangi langsung ketempat RPH yang terkena wajib
retribusi, apabila tidak didatangi langsung RPH mengabaikan pembayaran
retribusi, disinilah yang menjadi salah satu kendala DP3 dalam meningkatkan
kesadaran masyarakat akan pentingnya retribusi untuk pembangunan daerah. Kelima, kurang kepercayaan antara subyek
RPH dan petugas pemungutan, yang menjadikan kurang kepercayaan terhadap petugas
yaitu ditakutkan dengan oknum pemungut retribusi. Subyek RPH takut terhadap
jumlah tarif yang ditentukan menjadi berlebihan atau tidak masuk kepada kas
Pemda, disinilah petugas pemungutan harus ekstra dalam melakukan presentasinya
agar masyarakat percaya dan dapat membedakan mana petugas yang asli dan yang
palsu.[92]
Menurut Mardiasmo
hambatan-hambatan terhadap pemungutan
retribusi pajak dapat dikelompokan menjadi :
3)
Perlawanan Pasif
Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak yang disebabkan
antara lain :
d) Perkembangan intelektual dan
moral masyarakat
e) Sistem perpajakan yang
(mungkin) sulit dipahami masyarakat
f) Sistem kontrol tidak dapat
dilakukan atau dilaksanakan dengan baik
4)
Perlawanan Aktif
Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang
secara langsung ditunjukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak
bentuknya antara lain :
c) Tax avoidance, usaha
meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang.
d) Tax evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar
undang-undang (menggelapkan pajak).[93]
Perda No.17 Tahun 1998,
bahwa ada beberapa pasal yang harus ditaati oleh masyarakat dalam melakukan
pembayaran retribusi diantaranya Pasal 17 dan 19 yaitu :
Pasal 17
(1) Pembayaran
retribusi yang terutang harus dibayar sekaligus.
(2) Retribusi
yang terutang dilunasi selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak
diterbitkannya SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
(3) Tata
cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran retribusi diatur oleh Kepala
Daerah.
Pasal 19
(1)
Surat Teguran atau Surat Peringatan atau Surat lain
yang sejenis sebagai awal tindakan pelaksanaan penagihan retribusi dikeluarkan
7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran.
(2)
Dalam jangka 7 (tujuh) hari setelah tanggal Surat
Teguran atau Surat Peringatan atau Surat lain yang sejenis disampaikan Wajib
Retribusi harus melunasi retribusi yang terutang.
(3)
Surat Teguran, Surat Peringatan atau Surat lain yang
sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh Kepala Daerah atau
Pejabat yang ditunjuk.
RPH yang terkena
Pasal 17 dan 19, yang tidak membayar retribusi yang terutang harus membayar
dilunasi selambat-lambatnya 30 hari, dan retribusi yang terutang apabila tidak
membayar diberikan surat teguran atau surat peringatan. Tapi dari kenyataan
dilapangan masih enggan atau tdak memperdulikan apa yang dijelaskan dalam Pasal
17 dan pasal 19, masyarakat kadang harus dimanjakan atau petugas pemungutan
harus melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pajak dan retribusi kepada
masyarakat. Dan disinilah termasuk yang menjadi kendala dalam melakukan
pemungutan retribusi.
Sumber
yang telah diuraikan diatas dapat menyimpulkan beberapa unsur-unsur kendala,
ternyata dari hasil peniltian dan beberapa wawancara kepada Dinas Pertanian,
Peternakan dan Perikanan, yang menjadi kendala dalam pemungutan pembayaran
retribusi yaitu sebagai berikut :
1.
Subyek RPH masih kurang cakapnya terhadap aturan tentang
retribusi dan perpajakan.
2.
Pemungutan biaya yang dianggap besar, sebagian pemilik RPH
menjadi enggan membayar retribusi ataupun komplen.
3.
Subyek RPH dalam membayar retribusi telat atau sering
ditunda-tunda.
4.
Kurangnya kesadaran pemilik RPH dalam membayar langsung.
5.
Kurangnya kepercayaan antara Subyek RPH dengan petugas
pemungutan.
6.
RPH yang menjadi wajib pajak dan retribusi takut terhadap
oknum/mafia pajak.
7.
Subyek RPH terkadang sembunyi ketika petugas pemungutan
datang untuk melakukan tagihan retribusi.
8.
Kurang pedulinya terhadap peraturan daerah yang sudah
ditetapkan.
C. Upaya Mengatasi Kendala Pembayaran Retribusi Pajak Rumah
Potong Hewan Unggas di Kabupaten Kuningan dihubungkan dengan Perda No. 17 Tahun
1998
Upaya mengatasi kendala
dalam pembayaran retribusi pajak di Kabupaten Kuningan dimana telah dijelaskan
sebelumnya bahwa penulis dapat mengetahui upaya yang harus dilakukan oleh Dinas
Pertanian, Peternakan dan Perikanan yaitu.
Pertama, Mengadakan kegiatan pembinaan kepada masyarakat tentang retribusi
dan pajak. Agar masyarakat dapat memahami bahwa penting melakukan membayar
pajak dan retribusi untuk pembagunan daerahnya sendiri dan meningkatkan
pendapatan asli daerah untuk kesejahteraan masyarakat. Penyuluhan dari DP3
untuk hewan unggas merupakan salah satu konsumsi yang sangat penting dapat
diproses dengan layak oleh masyarakat, jadi DP3 melakukan vaksin terlebih
dahulu setiap hewan yang akan dipasarkan. Kedua,
Bersosialisasi terhadap masyarakat agar dapat percaya terhadap retribusi dan
pajak, dengan cara bersosialisasi terhadap masyarakat mengantispasi
kendala-kendala yang dihadapi dalam pemungutan, dan dengan bersosialisasi
masyarakat tidak segan lagi dalam melakukan pembayaran. Masyarakat tidak
menghindari dengan alasan yang merugikan. Ketiga,
Meningkatkan penegakan hukum dari pemerintah terhadap petugas retribusi dan
pajak dari oknum atau mafia pajak, dalam meningkatkan penegakan hukum untuk
masyarakat perlu diawasi terhadap oknum yang meresahkan masyarakat dalam
pemungutannya, agar masyarakat dapat melakukan pemabayaran sebagaimana mestinya
dan lancar melakukakan pembayaran retribusi. Keempat, Meningkatkan pengawasan pemungutan pajak dan retribusi
dari pemerintah, dalam meningkatkan pengawasan terhadap petugas pemungutan
retribusi, untuk menghindari keterlibatan konflik/sengketa antara petugas
pemungutan dengan masayarakat. Kelima, Pemungutan
harus dilakukan secara adil dan seimbang melihat perokoniman masyarakat
terlebih dahulu.[94]
Perda No. 17 Tahun 1998 di
dalam Pasal 26 tentang Pembinaan dan Pengawasan, dimaksudkan sangatlah penting
dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap retribusi untuk kelancaran
yang diharapkan. Dalam Pasal 26 menjelaskan sebagai berikut :
(1) Pembinaan
dan pengawasan atas pelaksanaan Peraturan Daerah ini menjadi tugas dan tanggung
jawab Dinas.
(2) Dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawab dimaksud ayat (1) Pasal ini, Dinas dapat
mengadakan koordinasi dengan instansi lain yang terkait.
(3) Dinas
berkewajiban memberikan laporan atas pelaksanaan pembinaan dan pengawasan,
kepada Bupati Kepala Daerah.
Penulis dapat
menyimpulkan bahwa dalam upaya mengatasi kendala pembayaran retribusi
berdasarkan Perda, DP3 hendaklah melakukan beberapa hal berikut ini :
1.
Mengadakan kegiatan pembinaan kepada masyarakat tentang retribusi dan
pajak.
2.
Bersosialisasi terhadap masyarakat agar dapat percaya terhadap petugas
pemungutan retribusi dan pajak.
3.
Meningkatkan penegakan hukum dari pemerintah terhadap petugas retribusi
dan pajak.
4.
Meningkatkan pengawasan pemungutan pajak dan retribusi dari pemerintah.
5.
Pemungutan harus dilakukan secara adil dan seimbang melihat perokoniman
masyarakat terlebih dahulu wajib retribusi dan pajak.
Dinas Pertanian,
Peternakan dan Perikanan merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah,
untuk menigkatan kemapuan keuangan daerah, diperlukan intensifikasi dan
ekstensifikasi subjek dan objek pendapatan. Dalam jangka pendek, kegiatan yang
paling mudah dan dapat segera dilakukan ialah dengan melakukan intensifikasi
terhadap objek atau sumber pendapatan yang sudah ada, terutama melalui
pemanfaatan teknologi informasi, untuk mengetahui objek dan subyek pendapatan
yang harus menjadi wajib retribusi dan pajak untuk menigkatkan pembangunan
daerah.
Upaya yang perlu
dilakukan oleh pemerintah daerah dalam rangka menigkatkan pendapatan daerah
melalui optimalisasi intesifikasi pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah,
antara lain dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :
1.
Memperluas basis penerimaan
2.
Memperkuat proses pemungutan
3.
Meningkatkan pengawasan
4.
Meningkatkan efisiensi administrasi dan menekan biaya pemungutan
5.
Meningkatkan kapasitas penerimaan melalui perencanaan
yang lebih baik.[95]
Pajak daerah dan
retribusi daerah belum menjadi sumber hasil daerah yang dapat diandalkan,
berbeda dengan diluar negri pajak daerah menduduki posisi kuat dan terhormat
sebagai penopang keuangan daerah. Tidak semua jenis pajak yang menjadi wewenang
daerah dapat dipungut oleh daerah, hal
ini disebabkan oleh :
1.
Objek tidak ada didaerah
2.
Hasil pungutan jauh lebih kecil dari biaya
pemungutannya
3.
Peraturan pelaksanaannya belum ada, sebab belum ada
pendoman pelaksanaannya
4.
Ada pembekuan atau pencabutan oleh pemerintah, dan
5.
Adanya larangan pemerintah daerah terhadap
kegiatan-kegiatan tertentu yang justru merupakan objek pajak daerah.[96]
Pemerintah
Daerah dalam pelaksanaan retribusi rumah potong hewan unggas adalah salah satu
faktor pendapatan asli daerah di Kabupaten Kuningan, dengan adanya berbagai
macam pungutan retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha dan retribusi
perizinan. Dan rumah potong hewan termasuk kedalam retribusi jasa usaha dimana
termasuk retribusi yang dipungut oleh pemerintah daerah.
Retribusi yang
dipungut oleh pemerintah daerah
sangatlah banyak terdapat di Kabupaten Kuningan yang melakukan usaha
rumah potong hewan, dalam penelitian rumah potong hewan unggas merupakan salah
satu sumber pendapatan asli daerah, tugas dan kewenangannya dalam pemungutan
retribusi RPH dilakukan oleh Dinas Pertanian, Pertenakan dan Perikanan.
Sedangkan Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Kuningan disingkat DIPENDA yaitu
Dinas yang menentukan jumlah penyetoran kepada UPTD yang lainya, yang menjadi
sumber-sumber pendapatan asli daerah.
Pendapatan
asli daerah merupakan pencerminan terhadap pendapatan masyarakat, untuk
itu perlu adanya kiat-kiat bagi pemerintah daerah dalam meningkatkan potensi
masyarakat dalam pengelolaan sumber-sumber pendapatan masyarakat. Meningkatnya
pendapatan masyarakat jelas mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan
sekaligus menambah Pendapatan Asli Daerah. Peningkatan pendapatan asli daerah
tentunya tidak terlepas dari kemampuan pemerintah dalam membina masyarakat dan
unsur swasta dalam mewujudkan berbagai bidang usaha, untuk selanjutnya
dapat memberikan masukan terhadap daerah.
Pelaksanaan
rumah potong hewan unggas sebagai pendapatan asli daerah adalah merupakan salah
satu sumber pendapatan asli daerah Kab.
Kuningan yang merupakan modal dasar, dalam pelaksanaannya dilakukan oleh DP3
akan tetapi setiap Dinas diberikan tanggung jawabnya masing-masing untuk
melaksanakan pembayaran atau setoran ke DIPENDA. Peraturan Daerah Kab. Kuningan No. 11 Tahun 2008
tentang Dinas Daerah Pasal 23 tentang Pembiayaan, menjelaskan bahwa,
Pembiayaan Dinas Daerah dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Kuningan.
Jadi,
dalam beberapa wawancara yang dilakukan DP3 dalam pelaksaananya wajib membayar penyetoran tiap tahun
sebesar Rp. 24.000.000,- (dua puluh empat juta rupiah) ke DIPENDA Kab.
Kuningan. Akan tetapi DP3 mengeluarkan kebijakan dalam tugas terhadap
pegawainya dalam Bidang peternakan kepada kantor cabang DP3 yaitu PUSKESWAN
Kecamatan, untuk melakukan pemungutan retribusi, Puskeswan juga berkewajiban
menyetorkan retribusi yang dipungut kepada DP3.
Masyarakat
yang mempunyai usaha RPH swasta masih banyak yang kurang kesadarannya dalam
membayar retribusi, padahal tanpa retribusi dan pajak daerah tersebut sangatlah
sulit untuk menjalankan roda pemerintahan, penggunaan uang retribusi dan pajak meliputi
mulai dari belanja pegawai sampai dengan pembiayaan berbagai proyek
pembangunan. Pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan, jembatan, sekolah,
rumah sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai dengan menggunakan uang yang
berasal dari pajak dan retribusi. Uang pajak dan retribusi juga digunakan untuk pembiayaan dalam rangka
memberikan rasa aman dan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat. Dan
dapat membantu meningkatkan perekonomian dan sosial masyarakat di daerah.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Implementasi pembayaran
retribusi pajak rumah potong hewan unggas di Kabupaten Kuningan yaitu :
1.
Pemungutan pembayaran dilakukan langsung oleh pegawai Dinas
Pertanian, Peternakan dan Perikanan melalui kantor cabang yaitu PUSKESWAN
2.
Puskeswan malakukan pengujian sample kesehatan hewan terlebih
dahulu.
3.
Pemungutan dilakukan langsung ditempat/lokasi rumah potong
hewan unggas.
4.
Pemungutannya dilakukan setiap seminggu sekali, atau sebulan
sekali
5.
Jumlah pembayaran dihitung, pemotongan perhari dikali
pemeriksaan daging.
6.
Pemungutannya tidak dapat diborongkan.
7.
Retribusi dipungut dengan menggunakan SKRD atau dokumen lain
yang dipersamakan. Karcis Atau Tanda Bukti Pembayaran.
8.
Puskeswan berkewajiban melakukan penyetoran kepada bendahara
DP3, dan
9.
DP3 berkewajiban melakukan penyetoran kepada DIPENDA sebagai
sumber PAD.
Kendala pembayaran retribusi
pajak rumah potong hewan unggas di Kabupaten Kuningan yaitu :
1.
Subyek RPH masih kurang cakapnya terhadap aturan tentang
retribusi dan perpajakan.
2.
Pemungutan biaya yang dianggap besar, sebagian pemilik RPH
menjadi enggan membayar retribusi ataupun komplen.
3.
Subyek RPH dalam membayar retribusi telat atau sering
ditunda-tunda.
4.
Kurangnya kesadaran pemilik RPH dalam membayar langsung.
5.
Kurangnya kepercayaan antara Subyek RPH dengan petugas
pemungutan.
6.
RPH yang menjadi wajib pajak dan retribusi takut terhadap
oknum/mafia pajak.
7.
Subyek RPH terkadang sembunyi ketika petugas pemungutan
datang untuk melakukan tagihan retribusi.
8.
Kurang pedulinya terhadap peraturan daerah yang sudah
ditetapkan.
Upaya mengatasi kendala pembayaran
retribusi pajak rumah potong hewan unggas di Kabupaten Kuningan ialah sebagai
berikut :
1.
Mengadakan kegiatan pembinaan kepada masyarakat tentang retribusi dan
pajak.
2.
Bersosialisasi terhadap masyarakat agar dapat percaya terhadap petugas
pemungutan retribusi dan pajak.
3.
Meningkatkan penegakan hukum dari pemerintah terhadap petugas retribusi
dan pajak.
4.
Meningkatkan pengawasan pemungutan pajak dan retribusi dari pemerintah.
5.
Pemungutan harus dilakukan secara adil dan seimbang melihat perokoniman
masyarakat terlebih dahulu wajib retribusi dan pajak.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Abdurrahmat Fathoni, Metode
Penelitan dan Teknik Penyusunan Skripsi, Jakarta: Rineka Cipta, 2006
Achmad Tjahjono dan Muhammad F. Husain, Perpajakan, Yogyakarta: Akademika
Manajemen Perusahaan YKPN, 1997
Adrian Sutedi, Hukum Pajak dan
Retribusi Daerah, Bogor: Ghalia Indonesia, 2008
Amandemen Lenkap UUD 1945 dan
Susunan Kabinet 2009-2014, Yogyakarta: Buku Pintar, 2010
Cik Hasan Bisri, Penuntun
Penyusunan Rencana Penelitian dan Penyusunan Skripsi, Jakarta: Rajawali
Pers, 2001
Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2007
Josef Riwu Kaho, Beberapa Faktor
Yang Mempengaruhi Peningkatan Pemungutan Retribusi Daerah, Jakarta:
Gramedia, 1987
Kansil C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum
dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986
Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi, Yogyakarta:
Andi Offset, 2008
Siahaan, Marihot Pahala, Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, Edisi Revisi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Lengkap, Bandung: Fokusmedia, 2009
Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, Hukum
Pemerintah Daerah, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005
R. Santoso Brotodiharjo, Pengantar
Ilmu Hukum Pajak, Bandung: PT Eresco, 1993
Rochmat Sumitro, Dasar-Dasar Hukum
Pajak dan Pajak Pendapatan, Bandung: PT Eresco, 1979
Slamet Munawir,
Perpajakan Untuk SLTA, Yogyakarta:
BPFE UGM, 1990
Suandy Erly, Hukum Pajak, Jakarta: Salemba Empat,
2000
Tri Yuanta, Dasar Ternak Unggas, Yogyakarta:
Kanisius, 2008
Utang Rosidin, Otonomi Daerah dan
Desentralisasi, Bandung: Pustaka Setia, 2010
Peraturan-Peraturan :
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah.
Peraturan
Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah.
Peraturan
Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.
Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 17 Tahun 1998 tentang Retribusi
Rumah Potong Hewan.
Peraturan Daerah Kabaputen Kuningan Nomor 11 Tahun 2008 tentang Dinas
Daerah.
Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 41 Tahun 2008 tentang Tugas
Pokok, Fungsi Dan Uraian Tugas Dinas Pendapatan.
Internet :
Digital Library Universitas Sebelas Maret, Evaluasi Retribusi Rumah Potong Hewan Terhadap Pendapatan Asli Daerah
Pemerintah Kota Surakarta (http://digilib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=detail&d_id=981)
DIPENDA Kuningan, (http://dipendakuningan.blogspot.com/)
Joe Edukasi, Makalah Undang-Undang
Pemotongan Hewan,
Joe Edukasi, Makalah
Undang- Undang Pendirian Peternakan.
Ninyasmine, Kendala
Pajak Daerah,
Profil Kabupaten
Kuningan (http://www.kuningankab.go.id/)
Wikipedia, Unggas, (http://id.wikipedia.org/wiki/Unggas)
Wikipedia, Pajak, (http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak)
LAMPIRAN
Sandi Faisal, S.H
[1] Amandemen Lenkap UUD 1945 dan Susunan Kabinet 2009-2014, Yogyakarta:
Buku Pintar, 2010, hlm. 29
[2] Wikipedia, Pajak (http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak) diakses tanggal,
18-11-2011)
[3] Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Himpunan Peraturan Perundang-Undangan
Lengkap, Bandung: Fokusmedia, 2009, hlm. 5
[4] Undang-Undang No. 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
[5] Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi, Yogyakarta: Andi
Offset, 2008, hlm. 1-2
[6] Pipin Syarifin dan Dedah
Jubaedah, Hukum Pemerintah Daerah, Bandung:
Pustaka Bani Quraisy, 2005, hlm. 247
[7] R. Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: PT
Eresco, 1993, hlm. 86
[8] Erly Suandy, Hukum Pajak, Jakarta: Salemba Empat,
2000, hlm. 8
[9] Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi, Yogyakarta: Andi Offset, 2008, hlm. 14
[10] Erly Suandy, Op.Cit., hlm. 5
[11] Slamet Munawir, Perpajakan Untuk SLTA, Yogyakarta: BPFE
UGM, 1990, hlm. 4-5
[12] Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi, Yogyakarta: Andi Offset, 2008, hlm. 8
[13] Ibid, hlm. 2
[14] C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986, hlm. 325
[15] Adrian Sutedi, Hukum Pajak dan Retribusi Daerah, Bogor:
Ghalia Indonesia, 2008, hlm. 37
[16] Utang Rosidin, Otonomi Daerah dan Desentralisasi, Bandung:
Pustaka Setia, 2010, hlm. 234
[17] Cik Hasan Bisri, Penuntun Penyusunan Rencana Penelitian dan
Penyusunan Skripsi, Jakarta: Rajawali Pers, 2001, hlm. 66
[18] Abdurrahmat Fathoni, Metode Penelitan dan Teknik Penyusunan Skripsi, Jakarta: Rineka
Cipta, 2006, hlm. 113
[19] Dikutif dalam Buku Erly
Suandy, Hukum Pajak, Jakarta: Salemba
Empat, 2000, hlm. 6
[20] Ibid, hlm. 6
[21] Ibid, hlm. 7
[22] Ibid, hlm. 7
[23] Ibid, hlm. 7
[24] Rochmat Sumitro, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak
Pendapatan, Bandung: Eresco, 1979, hlm. 23
[25] Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2007, hlm. 32
[26] C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986, hlm. 324
[27] Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Himpunan Peraturan Perundang-Undangan
Lengkap, Bandung: Fokusmedia, 2009, hlm. 3
[28] Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi, Yogyakarta: Andi Offset, 2008, hlm. 1
[29] Ibid, hlm. 2
[30] Ibid, hlm. 6
[31] Ibid, hlm. 7
[32] Ibid, hlm. 7
[33] Ibid, hlm. 8
[34] C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986, hlm. 325
[35] Ibid, hlm. 325
[36] Achmad Tjahjono dan
Muhammad F. Husain, Perpajakan, Yogyakarta: Akademika Manajemen
Perusahaan YKPN, 1997, hlm.7-9
[37] Ibid, hlm. 4-6
[38] Ibid, hlm. 6
[39] C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986, hlm. 326
[40] Erly Suandy, Hukum Pajak, Jakarta: Salemba Empat,
2000, hlm. 12
[41] Ibid, hlm. 12
[42] Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi, Yogyakarta: Andi
Offset, 2008, hlm. 4
[43] Ibid, hlm. 4
[44] Ibid, hlm. 5
[45] Erly Suandy, Hukum Pajak, Jakarta: Salemba Empat,
2000, hlm. 8
[46] Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi, Yogyakarta: Andi Offset, 2008, hlm. 14
[47] Slamet Munawir, Perpajakan Untuk SLTA, Yogyakarta: BPFE
UGM, 1990, hlm. 4-5
[48] Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi, Yogyakarta: Andi Offset,
2008, hlm. 12
[49] Siahaan, Marihot Pahala, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Edisi Revisi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010,
hlm.10
[50] Ibid, hlm. 40
[51] Ibid, hlm. 50
[52] Ibid, hlm. 48
[53] Ibid, hlm. 59
[54] Ibid, hlm. 64
[55] Ibid, hlm. 78
[56] Ibid, hlm. 78
[57] Ibid, hlm.79
[58] Ibid, hlm. 79-80
[59] Ibid, hlm. 615
[60] Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi, Yogyakarta: Andi Offset, 2008, hlm. 14
[61] Erly Suandy, Hukum Pajak, Jakarta: Salemba Empat,
2000, hlm. 144
[62] Siahaan, Marihot Pahala, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Edisi Revisi, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2010, hlm. 621
[63] Ibid, hlm. 67
[64] Ibid, hlm. 619
[65] Ibid, hlm. 621
[66] Ibid, hlm. 628
[67] Ibid, hlm. 632
[68] Ibid, hlm. 636
[69] Ibid, hlm. 628-629
[70] Ibid, hlm. 628
[71] UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah
[72] PP No. 66 Tahun 2001
tentang Retribusi Daerah
[73] Perda Kab. Kuningan No. 17 Tahun 1998 tentang Retribusi Rumah Potong
Hewan
[74] Siahaan, Marihot Pahala, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Edisi Revisi, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2010, hlm. 638
[75] Ibid, hlm. 638
[76] Ibid, hlm. 639
[77] Ibid, hlm. 640-641
[78] Ibid, hlm. 641-642
[79] Ibid, hlm. 642
[80] Tri Yuanta, Dasar Ternak Unggas, Yogyakarta:
Kanisius, 2008, hlm. 15
[81] Wikipedia, (http://id.wikipedia.org/wiki/Unggas)
diakses tanggal. 23 Maret 2012
[82] Wikipedia, (http://id.wikipedia.org/wiki/Hewan)
diakses tanggal. 23 Maret 2012
[83] UU No. 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
[84] PP No.66 Tahun 2001
tentang Retribusi Daerah
[85] Perda No.17 Tahun 1998
tentang Retribusi RPH
[86] Data Puskeswan Kecamatan
Kuningan-Cigugur, tanggal. 02 Mei 2012
[87] Motto Visi dan Misi Dinas
Pertanian, Perikanan dan Peternakan
[88] Wawancara, Kepada Pegawai DP3 Pemungut Retribusi RPH,
tanggal. 06 April 2012
[89] Perda No. 17 Tahun 1998
tentang Retribusi RPH
[90] Siahaan, Marihot Pahala, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Edisi Revisi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010,
hlm. 649
[91] Perda No. 17 Tahun 1998
tentang Retribusi RPH
[92] Wawancara, Pegawai DP3 Pemungut Retribusi Unggas,
tanggal. 06 April 2012
[93] Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi, Yogyakarta: Andi Offset, 2008, hlm. 8
[94] Wawancara, Kepada Pegawai DP3 Pemungut Retribusi Unggas,
tanggal. 06 April 2012
[95] Adrian Sutedi, Hukum Pajak dan Retribusi Daerah, Bogor:
Ghalia Indonesia, 2008, hlm. 99-100
[96] Josef Riwu Kaho, Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi
Peningkatan Pemungutan Retribusi Daerah, Jakarta: Gramedia, 1987, hlm. 131