Kamis, 05 Desember 2013

Skripsi IMPLEMENTASI PEMBAYARAN RETRIBUSI PAJAK JASA USAHA RUMAH POTONG HEWAN (RPH) UNGGAS DI KAB. KUNINGAN DIHUBUNGKAN DENGAN PERDA NO. 17 TAHUN 1998 TENTANG RETRIBUSI RPH

IMPLEMENTASI PEMBAYARAN RETRIBUSI PAJAK JASA USAHA RUMAH POTONG HEWAN (RPH) UNGGAS DI KAB. KUNINGAN DIHUBUNGKAN DENGAN PERDA NO. 17 TAHUN 1998 TENTANG RETRIBUSI RPH

ABSTRAK

Kebijakan Desentralisasi fiskal sebagai tindak lanjut dari kebijakan otonomi, memberikan kewenangan daerah kepada daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan asli daerah (PAD) dalam meningkatkan pembangunan daerahnya masing-masing, misalkan didaerah Kab. Kuningan dalam meningkatkan PAD salah satunya dari pemungutan Retribusi Rumah Potong Hewan, yang diatur dalam Peraturan Daerah No. 17 Tahun 1998 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan (RPH). ternyata terdapat adanya das sollen dan das sein, ada perbedaan antara apa yang seharusnya diharapkan dan apa yang ada dalam kenyataan tidak sesuai, misalkan Pasal 9 tentang jumlah tarif, (a) hewan besar, (b) hewan kecil, (c) hewan unggas dan (d) pemerikasaan daging, akan tetapi dalam melaksanakan pemungutan menentukan jumlah tarif tidak seluruhnya dipakai, yang dipakai hanya Pasal 9 huruf (d) yaitu pemeriksaan daging.
Berdasarkan uraian diatas penulis dapat merumuskan beberapa masalah yaitu, bagaimana implementasi pembayaran retribusi pajak jasa usaha rumah  potong hewan unggas di Kab. Kuningan dihubungkan dengan Perda No. 17 Tahun 1998 tentang Retribusi RPH, Kendala dalam pembayaran Retribusi RPH. dan Upaya mengatasi kendala dalam pembayaran Retribusi RPH.
Tujuan penulis dari penelitian yaitu untuk mengetahui bagaimana implementasi pembayaran retribusi RPH, untuk mengetahui kendala yang harus dihadapi dalam melakukan pemungutan, dan upaya mengatasi kendala tersebut.
Metode penelitian yang akan digunakan oleh penulis adalah metode penelitian pertama yaitu metode Deskriftif Analisis  yakni penelitian terhadap skripsi ditunjukan untuk menggambarkan dan memaparkan fakta-fakta terhadap proses pembayaran retribusi pajak rumah potong hewan. Metode kedua yang digunakan adalah metode Yuridis Normatif,  yaitu suatu penelitian terhadap data-data yang menekankan pada ilmu atau kaidah-kaidah yang masih berlaku.
Implementasi pembayaran retribusi rumah potong hewan di Kab. Kuningan yaitu Pemerintah daerah memberikan kewenangan pemungutannya diberikan kepada Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan (DP3) melalui kantor cabangnya yaitu Puskeswan (Pusat Kesehatan Hewan), dalam melakukan pemungutannya dengan menggunakan karcis atau dokumen lainya yang sah, dan jumlah tarif yang ditentukan berdasarkan pemotongan perhari dikali dengan pemeriksaan daging Rp. 50,- /Kg. Kendala yang dihadapi dalam pemungutan retribusi RPH yaitu subyek RPH sering menghindari dan sembunyi ketika petugas pemungutan datang dan sering melakukan penundaan terhadap pembayaran retribusi tersebut. Upaya mengatasi kendala tersebut yaitu Pemerintah Daerah mengadakan pembinaan dan pengawasan terhadap pembayaran retribusi dan pajak kepada masyarakat.

KATA PENGANTAR

Assalamuallaikum Wr. Wb . . . . .
Segala Puji kehadirat Allah SWT, yang memberikan ujian kepada manusia berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan, tapi dia pula yang memberikan petunjuknya, obat, kekayaan dan ganjarannya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad saw, yang telah membimbing umatnya untuk mencapai kejayaan dan keselamatan di dunia dan akhirat.
 Atas segala nikmat dan karunia-Nya yang senantiasa memberikan petunjuk, kekuatan lahir dan batin dengan semangat dan keikhlasan sehingga penulis dapat menyusun skripsi dengan judul “Implementasi Pembayaran Retribusi Pajak Jasa Usaha Rumah Potong Hewan Unggas di Kabupaten Kuningan dihubungkan dengan Peraturan Daerah No. 17 Tahun 1998 tentang  Retribusi Rumah Potong Hewan (RPH)”
Penulisan skripsi ini sebagai salah satu syarat tugas akhir untuk memperoleh Strata Satu yaitu gelar Sarjana Hukum (S.H). Dalam menyusun skripsi, penulis menyadari banyak hambatan-hambatan yang dilalui, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih, yang pertama kepada kedua orang tua tercinta yaitu Ayahanda Mahnun dan Ibunda Enjun, serta Adikku ialah Dinar Aldi Nuri, yang selalu memberikan Do’a dan dukungannya, yang kedua penulis ucapkan kepada pembimbing ibu Dewi Sulastri S.H., M.H. dan H. UU Nurul Huda S.Ag., S.H., M.H. terhadap semua ilmu yang telah diberikan dan selalu bersyukur, yang telah membantu terciptanya skripsi ini. Baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan, saran, ilmu dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini, antara lain :
1.    Keluarga ibunda yang selalu memberikan dukungan secara moril dan materilnya.
2.    Keluarga ayahanda yaitu Drs. H. Sudarjo, yang selalu memberikan saran dan kritiknya.
3.    Sahabat di Jurusan Ilmu Hukum  (Ucup,Terry, Ustad dan semuanya), Organisasi Daerah KMK Bandung (Eva Setiawati, Apip, Fahmi, dll) dan di Desa (Mario jelly, Gunawan, Aris Kopi, Ono Keyep, Anak-anak Cioeda, dll) yang selalu memberikan semangat dan saran.
4.    Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu dan bimbingannya.
Dan kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, semoga Allah swt memberikan balasan yang setimpal kepadanya. Penulis sadari dalam penyusunan skiripsi ini pasti jauh dari sempurna, untuk itu penulis mohon maklum, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan yang lainnya.
Billahittafiq Wa Al-hidayah . . . .

                                                                       

DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................. iii
BAB I..... PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A.       Latar Belakang ......................................................................... 1
B.       Rumusan Masalah .................................................................... 8
C.       Tujuan Penelitian ..................................................................... 8
D.       Kegunaan Penelitian ................................................................ 9
E.        Kerangka Pemikiran ................................................................. 9
F.        Langkah-Langkah Penelitian ................................................... 15
BAB II... TINJAUAN TEORITIS TENTANG PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH         19
A.    Definisi, Syarat dan Sistem Pemungutan Pajak Pengaturannya ........ 19
B.     Klasifikasi Hukum Pajak dan Fungsi Pajak .............................. 26
C.     Pajak Daerah dan Retribusi Daerah .......................................... 33
BAB III PEMBAYARAN RETRIBUSI PAJAK JASA USAHA RUMAH POTONG HEWAN UNGGAS DI KABUPATEN KUNINGAN............................... 60
A.       Implementasi Pembayaran Retribusi Pajak Rumah Potong Hewan Unggas di Kabupaten Kuningan dihubungkan dengan Perda Nomor 17 Tahun 1998 60
B.       Kendala Pembayaran Retribusi Pajak Rumah Potong Hewan Unggas di Kabupaten Kuningan dihubungkan dengan Perda Nomor 17 Tahun 1998 69
C.       Upaya Mengatasi Kendala Pembayaran Retribusi Pajak Rumah Potong Hewan Unggas di Kabupaten Kuningan dihubungkan dengan Perda No.17 Tahun 1998          73
BAB IV PENUTUP ...................................................................................... 79
A.       Kesimpulan .............................................................................. 79
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 81
LAMPIRAN










BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Zaman era globalisasi seperti sekarang peran pajak dan retribusi dalam suatu negara dapat dikatakan sebagai basis material dan darah kehidupan (lifeblood) bagi negara dan roda kekuasaanya. Dalam catatan sejarah, tidak ada negara otoriter maupun demokratis yang dapat bertahan hidup dan menjalankan roda kekuasaannya tanpa adanya pajak dan retribusi dari rakyat. Sehingga dapat diteorikan, apabila basis material dan darah kehidupan “pajak dan retribusi” bisa berjalan dengan lancar baik dari segi penganggaran maupun pembelanjaannya, akan tercipta suatu negara yang sejahtera. Pajak dibayar, negara tegak, pajak diboikot negara ambruk. Dalam menjalankan kegiatan pemerintah dan pembangunan nasional, pemerintah membutuhkan dana yang tidak sedikit. Untuk itu pemerintah akan berusaha untuk menggali sumber-sumber dana yang berasal dari segenap potensi sumber daya yang dimiliki oleh suatu Negara, baik melalui kekayaan alam maupun iuran dari masyarakat. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa pajak merupakan kontribusi wajib kepada Negara. Pajak dan retribusi dapat digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintah dan pembangunan nasional. Sejak tahun 1999 pembagian pajak menurut wewenang pemungutan pajak dipisahkan menjadi pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat yang dipungut oleh pemerintah pusat terdiri dari pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai, sedangkan pajak daerah dipungut oleh pemerintah daerah. Sektor pendapatan negara yang telah dikembangkan untuk meningkatkan anggaran negara. Dapat dilakukan mulai dari pemanfatan sumber daya alam yang melimpah sampai penyelenggaraan usaha perusahaan negara dan usaha swasta. Akan tetapi sektor-sektor tersebut masih belum bisa membawa negara ke jenjang yang lebih baik seperti yang diharapkan.
Politik hukum  nasional dalam bidang  perpajakan tercantum dalam Undang-Undang 1945  Bab VII Pasal 23A yang menjelaskan bahwa,
Pajak dan pemungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan-undang-undang.[1]

Pajak ditinjau dari prespektif ekonomi dapat dipahami sebagai paralihan sumber daya dari sektor privat (swasta) ke sektor publik (pemerintah).[2] Penerimaan pajak dilakukan pembagian antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang diatur dalam UU No.18 tahun 1997 jo UU No. 34 Tahun 2000 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pengertian dari Pajak Daerah diatur dalam Pasal 1 ayat (10) yaitu,
Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sedangkan Retribusi Daerah diatur dalam Pasal 1 ayat (64) yaitu,
Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.
Terkait dengan retribusi rumah potong hewan termasuk pendapatan daerah yang menjadi salah satu sumber paling diharapkan menjadi pendapatan asli daerah, retribusi rumah potong hewan termasuk kedalam kategori retribusi jasa usaha,  pengertian jasa usaha diatur  dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 1 ayat (67) yaitu,
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip-prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.[3]

Sedangkan yang termasuk Jenis Retribusi jasa usaha menurut UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 127 yaitu,
a.     Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah.
b.    Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan.
c.     Retribusi Tempat Pelelangan.
d.    Retribusi Terminal.
e.     Retribusi Tempat Khusus Parkir.
f.     Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa.
g.    Retribusi Rumah Potong Hewan.
h.    Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan.
i.      Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga.
j.      Retribusi Penyeberangan di Air, dan
k.    Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.

Objek dari Retribusi Rumah Potong Hewan diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 134 yang menjelaskan bahwa,
Objek Retribusi Rumah Potong Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 huruf (g) adalah pelayanan penyediaan fasilitas rumah pemotongan hewan ternak termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.[4]

Pajak dan retribusi sebagai sumber dana pembangunan daerah atau Budgetair, Menurut Mardiasmo fungsi Budgetair yaitu pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluran-pengeluarannya dan fungsi Mengatur (regurelend) yaitu pajak sebagai alat mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.[5] Penerimaan pemerintah yang paling sentral adalah pajak dan retribusi, sumbangan pajak bagi anggaran pemerintah sangat besar, sehingga peran pajak dan retribusi begitu sentral. Pemerintah berupaya meningkatkan pendapatan dari sektor pajak dan retribusi, keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan Provinsi dan Kabupaten atau Kota merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pemerintah pusat dengan kebijakannya. Kebijakan tentang keuangan daerah ditempuh oleh pemerintah pusat agar pemerintah daerah mempunyai kemampuan untuk membiayai pendanaan pembangunan daerahnya sesuai dengan Daerah Otonomi.
Sumber-sumber pendanaan pelaksanaan pemerintah daerah terdiri dari :
1.        Pendapatan asli daerah
2.        Dana perimbangan
3.        Pinjaman daerah
4.        Lain-lain pendapatan yang sah
Pendapatan asli daerah (PAD) merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil dari pengelolaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas Desentralisasi.[6] Pada masa Orde Baru pembiayaan daerah, berasal dari pemerintah pusat saja. Dengan adanya otonomi, pembiayaan tidak hanya berasal dari pusat saja akan tetapi berasal dari daerahnya sendiri, sehingga pemerintah daerah berusaha meningkatkan pendapatan asli daerah. Untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Pemerintah berusaha memperbaiki sistem pajak dan retribusi daerahnya, dibuatnya UU No. 18 Tahun 1997 jo UU No. 34 Tahun 2000 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pajak daerah dan Retribusi Daerah merupakan pendapatan yang paling besar yang diperoleh Daerah. Guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemerintah Kabupaten Kuningan berusaha untuk meningkatkan pendapatan asli daerah salah satunya dari Retribusi Rumah Potong Hewan (RPH). Sistem pemungutan retribusi daerah di Kabupaten Kuningan berbeda dengan pemerintah pusat. Perbedaan terletak pada cara pemungutannya misalkan retribusi rumah potong hewan di Kabupaten Kuningan ditarik langsung oleh pegawai Dinas Peternakan, Pertanian, dan Perikanan ketempat lokasi langsung, dengan cara pemungutan retribusi daerah menggunakan Karcis. Karcis sebagai bukti pembayaran dari penyediaan jasa layanan kepada masyarakat. Dalam prakteknya permasalahan yang sering dihadapi dalam cara pemungutan retribusi adalah  sering terlambatnya melakukan pembayaran retribusi bagi para pemakai jasa usaha, dan tidak kesesuaiannya dalam pembayaran retribusi yang telah ditentukan oleh Dinas Perternakan, Perikanan, dan Pertanian, dan terkadang terjadinya melakukan monopoli terhadap retribusi antara pengguna jasa usaha dan pegawai pemungutan.
Rumah potong hewan di Kabupaten Kuningan banyak yang melakukan usaha pemotongan hewan baik swasta maupun pribadi, masyrakat yang melakukan usaha rumah potong hewan terkena wajib retribusi yang diatur dalam Perda No. 17 Tahun 1998 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan, dengan Perda tersebut seharusnya masyarakat dapat melaksanakan Perda yang sudah diberlakukan, akan tetapi masyarakat di Kabupaten Kuningan, kurang memperdulikan peraturan Perda tersebut jadi banyak anomali terhadap Perda tersebut menjadi kurang efektif. Misalkan Perda No. 17 Tahun 1998 Pasal 9 mengatur tentang Jumlah besarnya tarif retribusi hewan yaitu :
A.       Hewan Besar.
a.     Pemakaian Kandang...............................................     Rp.      1.500,00
b.    Pemotongan Hewan ...............................................     Rp.      4.500,00
c.     Penyimpanan Daging .............................................     Rp.      1.000,00
B.       Hewan Kecil.
a.     Pemakaian Kandang ..............................................     Rp.         200,00
b.    Pemotongan Hewan ...............................................     Rp.      2.500,00
c.     Penyimpanan Daging..............................................     Rp.         200,00
C.       Unggas.
a.     Pemakaian Kandang ..............................................     Rp.           20,00
b.    Pemotongan Hewan ...............................................     Rp.         150,00
c.     Penyimpanan Daging..............................................     Rp.           20,00
D.       Biaya pemeriksaan ulang daging untuk setiap Kg    ...    Rp.          50,00
Biaya Penyembelihan dimaksud huruf a, b dan c ayat (2) pasal ini belum termasuk ongkos Jagal atau Petugas Penyembelih.

Berdasarkan Perda No. 17 Tahun 1998 Pasal 9 huruf (a,b,c dan d) bahwa sudah jelas jumlah tarif per/ekor, yang seharusnya dibayarkan oleh wajib retribusi, akan tetapi dalam kenyataannya yang berlaku hanya Pasal 9 huruf (d) yaitu pemeriksaan daging saja. (Pasal 9 Huruf a, b dan c) Untuk hewan besar, kecil dan unggas kurang diberlakukan, adapun cara pembayarannya yaitu hanya jumlah pemotongan per/hari dikali pemerikasaan daging Rp. 50,- /kg, dan itupun masyarakat keberatan dengan tarif yang ditentukan. Jadi pegawai pemungutan mengeluarkan kebijakan kepada masyarakat untuk membayar dengan cara memprediksikan kondisi rumah potong hewan dan kemampuannya. Di Kabupaten Kuningan yang terkena wajib retribusi oleh DP3 terdapat 58 orang yang masih bersedia membayar retribusi RPH, masih banyak yang melakukan usaha RPH akan tetapi enggan membayar retribusi RPH. Untuk pemungutan dilakukan ada yang per/minggu dan per/bulan. Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan (DP3) berkewajiban melakukan penyetoran sebesar Rp. 24.000.000,- /Tahun kepada Dinas Pendapatan Daerah (DIPENDA) sebagai sumber PAD. Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan melakukan pemungutannya berdasarkan target kewajiban penyetoran kepada Dinas Pendapatan Daerah yang penting terpenuhi. Padahal apabila diberlakukan semua dapat meningkatkan PAD dan pembangunan Daerah, disinilah masyarakat di Kab. Kuningan masih kurang peduli dan kesadarannya terhadap retribusi.
Berdasarkan latar belakang yang  yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan kajian dan penelitian mengenai, Implementasi pembayaran retribusi pajak jasa usaha rumah potong hewan unggas di Kabupaten Kuningan dihubungkan dengan Peraturan Daerah No. 17 Tahun 1998 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan (RPH). Karena adanya kesenjangan antara Peraturan Daerah tersebut dengan pelaksanaannya.



B.       Rumusan Masalah
1.    Bagaimana implementasi pembayaran retribusi pajak rumah potong hewan unggas di Kabupaten Kuningan dihubungkan dengan  Perda No. 17 Tahun 1998 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan ?
2.    Bagaimana kendala pembayaran retribusi pajak rumah potong hewan unggas di Kabupaten Kuningan dihubungkan dengan Perda No. 17 Tahun 1998 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan ?
3.    Bagaimana upaya mengatasi kendala pembayaran Retribusi pajak rumah potong hewan unggas di Kabupaten Kuningan dihubungkan dengan Perda No.17 Tahun 1998 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan ?

C.      Tujuan Penelitian
1.      Untuk mengetahui implementasi pembayaran retribusi pajak rumah potong hewan unggas di Kabupaten Kuningan dihubungkan dengan  Perda No. 17 Tahun 1998 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan.
2.      Untuk mengetahui kendala pembayaran retribusi pajak rumah potong hewan unggas di Kabupaten Kuningan dihubungkan dengan Perda No. 17 Tahun 1998 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan.
3.      Untuk mengetahui upaya mengatasi kendala pembayaran Retribusi pajak rumah potong hewan unggas di Kabupaten Kuningan dihubungkan dengan Perda No.17 Tahun 1998 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan.

D.      Kegunaan Penelitian
1.    Segi Teoritis
Penulis mengharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberikan suatu sumbangan ilmu pengetahuan tentang pentingnya proses implementasi pembayaran retribusi pajak untuk pembangunan daerah dan mesejahterakan masyarakat dalam sosial dan ekonomi, serta pemahaman dari terhadap peraturan daerah tentang retribusi.
2.    Segi Praktis
Hal-hal yang penulis harapkan adalah dengan adanya penelitian ini dapat memberikan informasi kepada mahasiswa dan masyarakat pada umumnya bagaimana implementasi pembayaran retribusi rumah potong hewan yang seharusnya dijalankan berdasarkan Peraturan Daerah.

E.       Kerangka Pemikiran
Satu syarat mutlak dalam mengenakan pajak dan retribusi yang harus dipenuhi adalah adanya objek pajak dan retribusi yang dimiliki atau dinikmati oleh wajib pajak dan retribusi. Pada dasarnya objek pajak merupakan manifestasi dari taatsband (keadaan yang nyata).[7] Pajak diadakan berdasarkan Undang-Undang/Peraturan. Artinya berdasarkan hukum, pajak itu tidak boleh dipungut/dikenakan secara sewenang-wenang. Dalam UUD-1945 Pasal 23A ditegaskan,
Bahwa segala pemungutan pajak untuk keperluan negara harus ditetapkan dengan Undang-Undang.

Menurut  Rochmat Soemitro, Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa imbal (kontraprestasi).[8] Sedangkan Retribusi daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi adalah, Pungutan daerah sebagai atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.[9] Pajak merupakan salah satu gejala masyarakat, yang artinya pajak hanya ada didalam masyarakat, masyarakat adalah kumpulan manusia yang pada suatu waktu berkumpul untuk tujuan tertentu, masyarakat terdiri dari individu, individu mempunyai hidup sendiri dan kepentingan sendiri.[10] Dari penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan tentang perbedaan antara pajak denga retribusi. Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
1.        Kontra Prestasinya, pada retribusi kontra prestasinya dapat ditunjuk secara langsung baik secara individu dan golongan tertentu sedangkan pada pajak kontra prestasinya tidak ditunjuk secara langsung.
2.        Balas Jasa Pemerintahan, hal ini dikaitkan dengan tujuan pembayaran, yaitu pajak balas jasa pemerintah berlaku untuk umum; seluruh rakyat menikmati balas jasa, baik yang membayar pajak maupun yang dibebaskan dari pajak. Sebaliknya, pada retribusi balas jasa negara/pemerintah berlaku khususnya, hanya dinikmati oleh pihak yang telah melakukan pembayaran retribusi.
3.        Sifat Pemungutannya, pajak bersifat umum, artinya berlaku untuk setiap orang yang memenuhi syarat untuk dikenakan pajak. Sementara itu, retribusi hanya berlaku untuk orang tertentu, yaitu yang menikmati jasa pemerintah yang dapat ditunjuk.
4.        Sifat Pelaksanaannya, pemungutan retribusi didasarkan atas peraturan yang berlaku umum dan pelaksaanaanya dapat dipaksakan, yaitu setiap orang yang ingin mendapatkan suatu jasa tertentu dari pemerintah harus membayar retribusi. Jadi sifat paksaan pada retribusi bersifat ekonomis sehingga pada hakekatnya diserahkan pada pihak yang bersangkutan untuk membayar atau tidak. Hal ini berbeda dengan pajak. Sifat paksaan pada pajak adalah yuridis, artinya bahwa setiap orang yang melanggarnya akan mendapat sanksi hukuman, baik berupa sanksi pidana maupun denda.
5.        Lembaga atau Badan Pemungutannya, pajak dapat dipungut oleh pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah sedangkan retribusi hanya dapat dipungut oleh pemerintah daerah.[11]
Hambatan yang harus dihadapi  terhadap pemungutan pajak dapat dikelompokan menjadi 2 yaitu sebagai berikut:
1)        Perlawanan Pasif
Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak yang disebabkan antara lain :
a)         Perkembangan intelektual dan moral masyarakat
b)        Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat
c)         Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik
2)        Perlawanan Aktif
Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditunjukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak bentuknya antara lain :
a)         Tax avoidance,  usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang.
b)        Tax evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar undang-undang (menggelapkan pajak).[12]
Pemungutan pajak agar tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berukut :
1)        Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan)
Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil, adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta sesuai dengan kemampuan masing-masing. Sedang adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada majelis pertimbangan pajak.
2)        Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (syarat yuridis)
Di Indonesia pajak diatur dalam UUD 1945 Pasal 23 ayat (2). Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya.
3)        Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomis)
Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.
4)        Pemungutan pajak harus efisien (syarat finasiil)
Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekankan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutan.
5)        Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru.[13]
Menurut golongan, pajak dikelompokan menjadi dua yaitu pajak langsung dan pajak tidak langsung :
a.        Pajak langsung
Pajak langsung ialah pajak-pajak yang harus dipikul sendiri oleh siwajib pajak dan tidak dilimpahkan kepada orang lain, misalkan pajak seorang pengusaha dibayarkan dari pendapatan atau labanya sendiri. Pada pokoknya jenis pajak ini tidak menaikan harga pajak-pajak langsung dikenakan seorang berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu misalnya tiap tahun atau tiap bulan yang ditagih pada ketetapan pajak.
Contoh pajak langsung : pajak penghasilan, pajak gaji, pajak upah, pajak kekayaan,  pajak perseroan, pajak dividen, (keuntungan pemegang saham dari perseroan terbatas) dan pajak rumah tangga.
b.        Pajak tidak langsung
Pajak tidak langsung adalah pajak-pajak yang pada akhirnya dapat menaikan harga, karena akhirnya ditanggung oleh pembeli, dan pajak tersebut baru terhutang jika terjadi hal-hal yang menyebabkan terhutang pajak. Sebagai contoh pajak tidak langsung dapat disebutkan; pajak penjualan, pajak pembangunan, bea materai, bea warisan, dan bea balik nama.[14]
Upaya menigkatkan pendapatan daerah, persyaratan pertama dan yang paling jelas untuk sumber pendapatan ialah harus menghasilkan pendapatan yang besar, dalam kaitannya dengan biaya yang pelayanan yang akan dikeluarkan. Pemerintah daerah mempunyai jenis pajak, tetapi tidak menghasilkan lebih dari persentasi terkecil dari anggaran pengeluarannya. Hal tersebut menimbulkan kerugian, antara lain ongkos pungut akan menjadi besar, upaya administrasi terbagi-bagi, pembebanan sulit dicapai secara adil, kesabaran masyarakat hilang karena banyak pungutan kecil-kecil, dan kesan yang tidak benar dapat timbul  terhadap kemampuan keuangan pemerintah daerah.[15]
Otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan hanya diukur dari dari jumlah PAD yang dapat dicapai, tetapi lebih dari itu, yaitu sejauh mana pajak daerah dan retribusi dapat berperan dalam mengatur perekonomian masyarakat agar tumbuh berkembang, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Daerah.[16]
Obyek dan Subjek retribusi rumah potong hewan diatur dalam Perda No. 17 tahun 1998 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan Pasal 2 yaitu,
(1)      Obyek retribusi adalah pelayanan penyediaan fasilitas rumah potong hewan.
(2)      Subyek retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan fasilitas rumah potong hewan.

F.       Langkah-Langkah Penelitian
1.    Metode Penelitian
Metode penelitian yang akan digunakan oleh penulis adalah metode penelitian Deskriftif Analisis  yakni penelitian terhadap skripsi ditunjukan untuk menggambarkan dan memaparkan fakta-fakta terhadap proses pembayaran retribusi pajak rumah potong hewan. Metode penelitian dilakukan guna menggambarkan apa yang ada, proses sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi terhadap pajak dan retribusi, atau kecenderungan terhadap masyarakat dalam proses pembayaran retribusi pajak.
Metode kedua yang digunakan adalah metode Yuridis Normatif,  yaitu suatu penelitian terhadap data-data yang menekankan pada ilmu atau kaidah-kaidah yang masih berlaku.



2.    Jenis Data
Penulis menggunakan jenis data kualitatif yaitu data yang tidak menggunakan angka-angka atau rumus-rumus. Adapun data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah :
a.         Data tentang tinjauan implementasi pembayaran retribusi pajak terhadap jasa usaha rumah potong hewan.
b.        Data tentang kendala yang harus dihadapi retribusi pajak terhadap jasa usaha rumah potong hewan.
c.         Data tentang upaya mengatasi kendala pemungutan retribusi pajak rumah potong hewan.
3.    Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari :
a.         Bahan Hukum, yaitu Peraturan Daerah Kab. Kuningan Nomor 17 Tahun 1998 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan, Undang- Undang Nomor 18 Tahun 1997 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
b.        Bahan hukum sekunder, yaitu buku yang berkaitan dengan permasalahan tersebut yang ditulis oleh pakar-pakar hukum positif maupun pakar hukum yang lainya. Seperti buku Mardiasmo tentang Perpajakan, dan Marihot tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dan lain-lain.
c.         Bahan hukum tertier, buku ensiklopedia hukum dan media situs internet.

4.    Teknik Pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis adalah library research atau studi kepustakaan dan Wawancara, studi kepustakaan yaitu suatu bentuk penelitian kepustakan dengan membaca serta mempelajari literatur, penelahan naskah, dan catatan ilmiah.[17]  Maksud studi kepustakaan dalam penelitian ini adalah teori-teori yang relevan yang berhubungan dengan masalah proses pelaksanaan pembayaran terhadap retribusi pajak jasa usaha rumah potong hewan.
5.    Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah analisis yuridis kualitatif yaitu analisis hukum yang tidak menggunakan angka-angka atau rumus-rumus.[18] dan yang dilakukan dengan mengklasifikasikan data yang terkumpul sesuai dengan perumusan masalah kemudian mengkategorikannya dengan kerangka pemikiran yang pada akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan.
Maka berdasarkan pemaparan diatas penulis melakukan analisis data dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a.         Mengumpulkan data tentang implementasi pembayaran retibusi pajak terhadap jasa usaha rumah potong hewan.
b.        Mengklasifikasikan data yang diperoleh untuk dikelompokan mana yang diperlukan dan mana yang tidak diperlukan.
c.         Memahami data yang telah diklasifikasikan.
d.        Menganalisis data Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 1998 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan.
e.         Menarik kesimpulan tentang implementasi pembayaran retribusi pajak terhadap jasa usaha rumah potong hewan.






































BAB II
TINJAUN TEORITIS TENTANG PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH

A.      Definisi, Syarat Dan Sistem Pemungutan Pajak Pengaturannya
1.     Definisi Pajak
Definisi pajak dari beberapa ahli, yang dimuat secara kronologis, yaitu :
a.         Menurut Prancis, pajak adalah, “Bantuan baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja pemerintah”.[19]
b.        Menurut Deutsche Reichs Abgaben Ordnung, pajak adalah, “Bantuan uang secara insidental atau secara periodik (dengan tidak ada Kontraprestasinya) yang dipungut oleh badan yang bersifat umum (negara), untuk memperoleh pendapatan dimana terjadi suatu Tatbestand (sasaran pemajakan) yang karena Undang-Undang telah menimbulkan utang pajak”.[20]
c.         Menurut N. J. Feldmann, pajak adalah, “Prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengularan-pengularan umum”.[21]
d.        Menurut M. J. H. Smeets, pajak adalah, “Prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma hukum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa adakalanya, kontraprestasi yang dapat ditunjukan dalam hal yang individual, maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah”.[22]
e.         Menurut Soeparman Soemahamidjaja, pajak adalah, “Iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang atau jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”.[23]
f.         Menurut Rochmat Soemitro, pajak adalah, “Iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa imbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. dengan penjelesan sebagai berikut. “dapat dipaksakan”.[24]
g.        Menurut Abdul Qadim Zallum, pajak menurut syariah adalah, “Harta yang diwajibkan Allah swt. Kepada kaum muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluran yang memang diwajibkan atas mereka, pada kondisi baitul mal tidak ada uang/harta”.[25]
h.        Definisi Pajak menurut Kansil C.S.T, pajak adalah, “Iuran kepada kas negara yang terhutang oleh yang wajib membayarnya (wajib pajak) berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapat prestasi (balas jasa), kembali yang langsung”.[26]

i.          Menurut Hukum atau Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pasal 1 ayat (6) yang menjelaskan,
Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut pajak adalah, “Iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai menyelenggarakan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah”.[27]

Definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur yaitu:
1)        Iuran dari rakyat kepada negara, yang berhak memungut pajak hanyalah negara, iuran tersebut berupa uang (bukan barang).
2)        Berdasarkan Undang-Undang, pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan Undang-Undang serta peraturan pelaksanaannya.
3)        Tanpa jasa timbal balik atau kotraprestasi dari negara secara  langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
4)        Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.[28]
2.    Syarat, Tata Cara dan Hambatan Pemungutan Pajak
a.        Syarat Pemungutan Pajak
Pemungutan pajak agar tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak memenuhi syarat sebagai berukut :
1)        Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan)
Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, Undang-Undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil, adil dalam Perundang-Undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta sesuai dengan kemampuan masing-masing. Sedang adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada majelis pertimbangan pajak.
2)        Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang (syarat yuridis).
Di Indonesia pajak diatur dalam UUD 1945 Pasal 23 ayat (2). Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya.
3)        Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomis).
Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.
4)        Pemungutan pajak harus efisien (syarat finasiil).
Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekankan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutan.
5)        Sistem pemungutan pajak harus sederhana.
Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh Undang-Undang perpajakan yang baru.[29]


b.        Tata Cara Pemungutan Pajak
1)   Stelsel Pajak
Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 stelsel
a)    Stelsel nyata (riel stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutan baru dapt dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata mempunyai kelebihan atau kebaikan dan kekurangan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak yang dikenakan lebih realistis. Sedangkan kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui).
b)   Stelsel anggapan (fictieve stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh Undang-Undang. Misalkan, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak  berjalan, kebaikan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.
c)    Stelsel campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan, pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar dari pada pajak menurut anggapan, maka wajib pajak harus menambah sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali.[30]
2)   Asas pemungutan Pajak
a)    Asas domisili (asas tempat tinggal)
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan wajib pajak yang bertempat tinggal diwilayahnya, baik penghasilan yang berasal dalam maupun dari luar negri. Asas ini berlaku untuk wajib pajak dalam negeri.
b)   Asas sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber diwilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib pajak.
c)    Asas kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara.[31]
3)   Sistem pemungutan pajak
a)    Official assessment sytem
Adalah suatu pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
Ciri-cirinya :
(1)      Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus
(2)      Wajib pajak bersifat pasif
(3)      Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus
b)   Self assessment system
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
Ciri-cirinya :
(1)      Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri.
(2)      Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.
(3)      Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
c)    With holding system
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan wajin pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
Ciri-cirinya :
Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan wajib pajak.[32]
c.         Hambatan Pemungutan Pajak
Hambatan  terhadap pemungutan pajak dapat dikelompokan menjadi 2 yaitu :
1)      Perlawanan Pasif
 Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak yang disebabkan antara lain :
a)      Perkembangan intelektual dan moral masyarakat
b)      Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat
c)      Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik
2)      Perlawanan Aktif
 Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditunjukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak bentuknya antara lain :
a)      Tax avoidance,  usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar Undang-Undang.
b)      Tax evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar Undang-Undang (menggelapkan pajak).[33]

B.       Klasifikasi Hukum Pajak Dan Fungsi Pajak
Terdapat berbagai jenis pajak, yang dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu menurut golongan, menurut sifat, dan menurut lembaga pemugutannya.
1.    Menurut golongan
Menurut golongan, pajak dikelompokan menjadi dua yaitu pajak langsung dan pajak tidak langsung :
a.         Pajak langsung
Pajak langsung ialah pajak-pajak yang harus dipikul sendiri oleh siwajib pajak dan tidak dilimpahkan kepada orang lain, misalkan pajak seorang pengusaha dibayarkan dari pendapatan atau labanya sendiri. Pada pokoknya jenis pajak ini tidak menaikan harga pajak-pajak langsung dikenakan seorang berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu misalkan tiap tahun atau tiap bulan yang ditagih pada ketetapan pajak.[34]
Contoh pajak langsung : pajak penghasilan, pajak gaji, pajak upah, pajak kekayaan,  pajak perseroan, pajak dividen, (keuntungan pemegang saham dari perseroan terbatas) dan pajak rumah tangga.
b.        Pajak tidak langsung
Pajak tidak langsung adalah pajak-pajak yang pada akhirnya dapat menaikan harga, karena akhirnya ditanggung oleh pembeli, dan pajak tersebut baru terhutang jika terjadi hal-hal yang menyebabkan terhutang pajak. Sebagai contoh pajak tidak langsung dapat disebutkan: pajak penjualan, pajak pembangunan, bea materai, bea warisan, dan bea balik nama.[35]
Manfaat pembedaan pajak kedalam pajak langsung dan pajak tidak langsung adalah:
1)        Untuk keperluan sistematik dalam ilmu pengetahuan, misalkan untuk menentukan : saatnya timbulnya hutang pajak, kadaluarsa, tagihan susulan.
2)        Untuk menentukan cara pengadakan proses peradilan karena perselisihan.
2.    Menurut sifat
Menurut sifatnya, pajak dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu pajak subjektif dan pajak objektif.
a.         Pajak subjekif, adalah Pajak yang pengenaannya memperhatikan pada keadaan pribadi wajib pajak atau pengenaan pajak yang memperhatikan keadaan subjeknya. Contoh: pajak penghasilan.
b.        Pajak obyektif , Pajak yang pengenaannya memperhatikan pada objeknya baik berupa, benda, keadaan, perbuatan, atau peristiwa yang mengakibatkan timbulnya kewajiban membayar pajak, tanpa memperhatikan keadaan pribadi subjek pajak (wajib pajak) maupun tempat tinggal. Contoh: Pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah.
3.    Menurut Lembaga Pemungutan
a.         Pajak Negara atau Pajak Pusat  yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.
1)   Pajak yang dipungut oleh Dirjen Pajak:
a)    Pajak penghasilan
b)   PPN
c)    Pajak bumi dan bangunan
d)   Bea materi
e)    Bea lelang
2)   Pajak yang dipungut Bea Cukai (Dirjen Bea Cukai)
b.        Pajak daerah yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.[36]
1.        Fungsi Pajak
Menurut Achmad Tjahjono dan Muhammad F. Husain, ada fungsi lainnya yang tidak kalah pentingnya yaitu pajak sebagai fungsi mengatur. Berikut ini adalah penjelasan untuk masing-masing fungsi tersebut.[37]

a.    Sumber Keuangan Negara
Pemerintah memungut pajak terutama atau semata-mata untuk memperoleh uang sebanyak-banyaknya untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya baik bersifat rutin maupun untuk pembangunan, Fungsi sumber keuangan negara yaitu fungsi pajak untuk memasukkan uang ke kas negara atau dengan kata lain fungsi pajak sebagai sumber penerimaan negara dan digunakan untuk pengeluaran negara baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan.
Negara seperti halnya rumah tangga memerlukan sumber-sumber keuangan untuk membiayai kelanjutan hidupnya. Dalam keluarga sumber keuangan dapat berupa gaji/upah atau laba usaha. Sedangkan bagi suatu negara, sumber keuangan yang utama adalah pajak dan retribusi.
b.    Fungsi Mengatur atau Non Budgetair
Disamping usaha untuk memasukkan uang sebanyak mungkin untuk kegunaan kas negara, pajak harus dmaksudkan sebagai usaha pemerintah untuk turut campur tangan dalam mengatur dan bilamana perlu, mengubah susunan pendapatan dan kekayaan dalam sektor swasta.
Menurut Achmad Tjahjono dan Muhammad F. Husain, alat untuk melaksanakan kebijakan negara dalam bidang ekonomi dan sosial, sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya diluar bidang keuangan. Beberapa contoh pungutan pajak yang berfungsi mengatur yaitu:
1.        Pemberlakuan tarif progresif (dalam hal ini pajak dikenal juga berperan sebagai alat dalam Retribusi Pendapatan)
2.        Pemberlakuan Bea masuk yang tinggi bagi impor dengan tujuan untuk melindungi produksi dalam negeri.
3.        Pemberian fasilitas tax holiday atau pembebasan pajak untuk beberapa jenis industri tertentu dengan maksud  mendorong atau memotivasi para investor untuk meningkatkan investasinya.
4.        Pengenaan jenis pajak tertentu dengan maksud menghambat gaya hidup mewah.
5.        Pembebasan PPh atas Sisa Hasil Usaha Koperasi yang diperoleh sehubungan dengan kegiatan usahanya yang semata-mata dari dan untuk anggota.[38]
Pajak diadakan berdasarkan Undang-Undang/Peraturan. Artinya berdasarkan hukum, pajak itu tidak boleh dipungut/dikenakan secara sewenang-wenang. Dalam UUD-1945 Pasal 23A ditegaskan, Bahwa segala pemungutan pajak untuk keperluan negara harus ditetapkan dengan Undang-Undang, yang berarti DPR diikut sertakan, bahkan pada hakekatnya DPR lah yang memutuskannya.
2.        Hukum Pajak
Hukum Pajak ialah, Himpunan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah dan wajib-wajib pajak dan antara lain mengatur siapa-siapa dalam hal apa dikenakan (obyek pajak), timbulnya kewajiban pajak, cara pemungutannya, cara penagihannya dan sebagainya. Sebagai hukum peraturan-peraturan pajak pada intinya bagi wajib pajak memuat kewajiban-kewajiban, hak-hak dan sanksi administratif maupun sanksi pidana sehubung dengan pelanggaran atas ketentuan-ketentuannya. Hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik, khususnya termasuk lingkungan hukum administrasi negara, hukum pajak tidak terlepas dari bagian-bagian hukum lainnya, namun mempunyai hubungan erat dengan hukum administrasi negara, hukum perdata dan hukum pidana.[39]
Menurut Erly Suandy, Hukum Pajak  adalah, Suatu kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak.[40]
Hukum pajak sering juga disebut hukum fiskal, istilah pajak sering disamakan dengan istilah fiskal, yang berasal dari bahasa latin fiscal yang berarti kantong uang dan keranjang uang. Istilah fiskal yang dimaksud sekarang adalah Kas negara, sedangkan Fiscus disamakan dengan pihak yang mengurus penerimaan negara atau disebut juga administrasi pajak.[41]
1.        Kedudukan Hukum pajak
Menurut Rochmat Soemitro, hukum pajak mempunyai diantara hukum-hukum sebagai berikut :[42]
a)    Hukum perdata mengatur hubungan antara satu individu dengan individu lainnya.
b)   Hukum publik mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya. Hukum ini dapat dirinci lagi sebagai berikut:
(1)    Hukum Tata Negara
(2)    Hukum Tata Usaha (Hukum Administratif)
(3)    Hukum Pajak
(4)    Hukum Pidana
Kedudukan hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik. Mempelajari dalam bidang hukum, berlaku apa yang disebut lex specialis derogat lex generalis, yang artinya peraturan yang khususnya lebih diutamakan  dari pada peraturan umum atau jika sesuatu ketentuan belum ada atau tidak diatur dalam peraturan khusus, maka akan berlaku ketentuan yang diatur dalam peraturan umum.  Dalam peraturan khususnya adalah hukum pajak, sedangkan peraturan umumnya adalah publik atau hukum yang lain yang sudah ada sebelumnya. Hukum pajak menganut paham imperatif, yakni pelaksanaannya tidak dapat ditunda. Misalkan dalam hal pengajuan keberatan, sebelum ada keputusan dari Direktur Jendral pajak bahwa keberatan tersebut diterima, maka wajib pajak yang mengajukan keberatan terlebih dahulu membayar pajak, sesuai yang telah ditetapkan. Berbeda dengan hukum pidana yang menganut paham oportunitas, yakni pelaksanaannya dapat ditunda setelah ada keputusan lain.[43]
2.        Hukum Pajak Materiil dan Hukum Pajak Formil
Hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku pemungut pajak. Ada 2 macam hukum pajak yaitu :
a)        Hukum pajak materiil, menurut norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak.
Contoh : Undang-Undang pajak penghasilan
b)        Hukum pajak formil, memuat bentuk/tata cara untuk mewujudkan hukum materil menjadi kenyataan (cara pelaksanaannya hukum pajak materil). Hukum ini memuat antara lain :
(1)      Tata cara penyelenggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak.
(2)      Hak-hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para wajib pajak mengenai keadaan, perbuatan dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak.
(3)      Kewajiban wajib pajak misalkan menyelenggarakan pembukuan/pencatatan, dan hak-hak wajib pajak misalkan mengajukan keberatan dan banding.
Contonya : ketentuan umum dan tata cara perpajakan.[44]

C.      Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa imbal (kontra prestasi), yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.[45]
Sedangkan Retribusi daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan daerah sebagai atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.[46]
Penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan tentang perbedaan antara pajak denga retribusi. Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut :
1.        Kontra Prestasinya, pada retribusi kontra prestasinya dapat ditunjuk secara langsung baik secara individu dan golongan tertentu sedangkan pada pajak kontra prestasinya tidak ditunjuk secara langsung.
2.        Balas Jasa Pemerintahan, hal ini dikaitkan dengan tujuan pembayaran, yaitu pajak balas jasa pemerintah berlaku untuk umum; seluruh rakyat menikmati balas jasa, baik yang membayar pajak maupun yang dibebaskan dari pajak. Sebaliknya, pada retribusi balas jasa negara/pemerintah berlaku khususnya, hanya dinikmati oleh pihak yang telah melakukan pembayaran retribusi.
3.        Sifat Pemungutannya, pajak bersifat umum, artinya berlaku untuk setiap orang yang memenuhi syarat untuk dikenakan pajak. Sementara itu, retribusi hanya berlaku untuk orang tertentu, yaitu yang menikmati jasa pemerintah yang dapat ditunjuk.
4.        Sifat Pelaksanaannya, pemungutan retribusi didasarkan atas peraturan yang berlaku umum dan pelaksaanaanya dapat dipaksakan, yaitu setiap orang yang ingin mendapatkan suatu jasa tertentu dari pemerintah harus membayar retribusi. Jadi sifat paksaan pada retribusi bersifat ekonomis sehingga pada hakekatnya diserahkan pada pihak yang bersangkutan untuk membayar atau tidak. Hal ini berbeda dengan pajak. Sifat paksaan pada pajak adalah yuridis, artinya bahwa setiap orang yang melanggarnya akan mendapat sanksi hukuman, baik berupa sanksi pidana maupun denda.
5.        Lembaga atau Badan Pemungutannya, pajak dapat dipungut oleh pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah sedangkan retribusi hanya dapat dipungut oleh pemerintah daerah.[47]
1.        Pajak Daerah
Dasar hukum pemungutan pajak daerah adalah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No.34 Tahun 2000 jo Undang-Undang No. 28 Tahun 2009.
Beberapa pengertian atau istilah yang terkait dengan pajak daerah antara lain :
a.         Daerah Otonom, yang selanjutnyadisebut daerah, adalah Kesatuan masyarakat hukum yang mempuyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia.
b.        Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah Iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai menyelenggarakan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.
c.         Badan, adalah Sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi masa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenisnya, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk lainnya.
d.        Subjek pajak, adalah Orang pribadi atau badan yang dapat dikenakan pajak daerah.
e.         Wajib Pajak, adalah Orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah diwajibkan untuk melakukan pembayaran pajak yang terutang, termasuk pemungut atau pemotong pajak tertentu.[48]
Pajak daerah merupakan pajak yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan Peraturan Daerah (Perda), yang wewenang pemungutannya dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan hasilnya digunakan untuk  membiayai pengeluaran pemerintah daerah dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan di daerah. Karena pemerintah daerah di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu pemerintah Provinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota, yang diberi kewenangan untuk melaksanakan otonomi daerah pajak daerah di Indonesia dewasa ini juga dibagi menjadi dua, yaitu pajak Provinsi dan pajak Kabupaten/Kota.[49]
a.        Jenis-Jenis Pajak Daerah
Pajak daerah di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, terbagi menjadi dua yaitu pajak daerah tingkat I (Provinsi) dan pajak daerah tingkat II (Kabupaten/Kotamadya). Pembagian dilakukan sesuai dengan kewenangan pengenaan  dan pemungutan masing-masing jenis pajak daerah pada wilayah admnistrasi provinsi atau Kabupaten/Kotamadya yang bersangkutan. Setiap pemerintahan hanya dapat menetapkan pajak daerah sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepadanya oleh peraturan perundang-undangan pajak daerah. Hal ini untuk mengantisipasi agar tidak terjadi perbutan kewenangan antara daerah provinsi dan daerah Kabupaten/Kotamadya untuk memungut suatu jenis pajak pada suatu wilayah yang menjadi kewenangannya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, ditetapkan sembilan jenis pajak daerah, yaitu tiga jenis pajak daerah tingkat I dan enam Jenis pajak daerah tingkat II.[50]
Pungutan daerah yang berupa pajak dan retribusi diatur dengan UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 34 Tahun 2000. Sesuai dengan Undang-Undangan tersebut untuk pemungutan menjadi bertmabah, pemerintah daerah diberi kewenangan untuk memungut sebelas jenis pajak daerah, yaitu empat jenis pajak provinsi dan tujuh jenis pajak Kabupaten/Kota. Selain itu Kabupaten/Kota juga masih diberi kewenangan untuk menetapkan jenis pajak lain sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Undang-Undang tersebut juga mengatur tarif pajak maksimum untuk kesebelas jenis pajak daerah tersebut.[51]
Diberlakukan kurang lebih dari 12 tahun sebagai ketentuan hukum pajak formal dan material dalam proses pengenaan dan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah di Indonesia, pemerintah dan bersama DPR memandang perlu penggantian Undang-Undang No. 18 Tahun 1997, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 34 Tahun 2000. Penggantian tersebut dilakukan oleh pemerintah dengan mengundangkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.[52]
Berkaitan dengan disahkannya Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Pengaturan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Materi yang diatur dalam UU No. 42 Tahun 2009 adalah penambahan jenis pajak daerah. Terdapat penambahan empat jenis pajak daerah, yaitu satu jenis pajak Provinsi dan tiga jenis pajak Kabupaten/Kota. Dengan tambahan tersebut, secara keseluruhan terdapat enam belas jenis pajak daerah, yaitu lima jenis pajak Provinsi dan sebelas jenis pajak Kabupaten/Kota. Jenis pajak Provinsi yang baru adalah Pajak rokok, sedangkan tiga jenis pajak Kabupaten/Kota yang baru adalah PBB pendesaan, perkotaan, BPHTB, dan pajak sarang burung walet. Sebagai catatan, untuk Kabupaten/Kota ada penambahan satu jenis pajak yaitu pajak air tanah, yang sebelumnya merupakan pajak Provinsi, yaitu pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.[53]
Jenis pajak daerah dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yaitu :
a.         Jenis Pajak Provinsi terdiri atas :
1.    Pajak kendaraan bermotor
2.    Bea balik nama kendaraan bermotor
3.    Pajak bahan bakar kendaraan bermotor
4.    Pajak air permukaan, dan
5.    Pajak rokok
b.        Jenis Pajak Kebupaten/Kota terdiri atas:
             1.     Pajak hotel
             2.     Pajak restoran
             3.     Pajak hiburan
             4.     Pajak reklame
             5.     Pajak penerangan jalan
             6.     Pajak mineral bukan logam dan batuan
             7.     Pajak parkir
             8.     Pajak air tanah
             9.     Pajak sarang burung walet
         10.     Pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan, dan
         11.     Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.[54]
b.        Objek dan Subjek Pajak Daerah
1.    Objek Pajak Daerah
Pajak merupakan salah satu syarat mutlak yang harus dipenuhi adalah adanya objek pajak yang dimiliki atau dinikmati oleh wajib pajak. Pada dasarnya objek pajak merupakan manifestasi dari taatbestand (keadaan yang nyata). Taatbestand adalah keadaan peristiwa, atau perbuatan yang menurut peraturan perundang-undangan pajak dapat dikenakan pajak. Kewajiban pajak dari seseorang wajib pajak muncul (secara objektif) apabila memenuhi taatbestand. Tanpa terpenuhinya taatbestand tidak ada pajak terutang yang harus dipenuhi atau dilunasi.[55]
Undang-Undang No. 18 Tahun1997 maupun Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 tidak secara jelas dan tegas menentukan apa yang menjadi objek pajak pada setiap jenis pajak daerah, tetapi menyerahkannya pada peraturan pemerintah. Penentuan apa yang menjadi objek pajak daerah dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah, yang merupakan pengganti dari Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah. Hal ini merupakan penentuan objek pajak secara umum, mengingat pemberlakuan suatu jenis pajak secara umum, mengingat pemberlakuan suatu jenis pajak daerah pada suatu Provinsi atau Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah, untuk mengetahui apa yang menjadi objek pajak harus dilihat apa yang ditetapkan Peraturan Daerah dimaksud sebagai objek pajak.
Berbeda dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 dengan tegas dinyatakan apa yang menjadi objek pajak suatu jenis pajak daerah. Memberikan kepastian guna penetapan Peraturan Daerah yang menjadi dasar hukum pemungutan suatu jenis pajak daerah pada suatu daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota. Selain apa yang menjadi objek pajak, dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang PDRD juga dengan tegas disebutkan apa yang dikecualikan dari objek pajak.[56]
Objek pajak daerah terhadap pajak kendaraan bermotor didalam Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah Pasal 2 yaitu :
1.    Objek pajak kendaraan bermotor adalah kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
2.    Dikecualikan objek pajak kendaraan bermotor adalah kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor oleh :
a.    Pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
b.    Kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dan perwakilan lembaga-lembaga internasional dengan asas timbal balik.
c.    Subjek pajak lainnya yang diatur dengan Peraturan Daerah.
2.    Subjek Pajak Daerah
Pemungutan pajak daerah terdapat dua istilah  yang kadang disamakan walaupun sebenarnya memiliki pengertian yang berbeda, subjek pajak dan wajib pajak. Dalam beberapa jenis pajak, seperti pajak kendaraan bermotor dan kendaraan diatas air, subjek pajak identik dengan wajib pajak, yaitu setiap orang atau badan memenuhi ketentuan sebagai subjek pajak diwajibkan untuk membayar pajak sehingga secara otomatis menjadi wajib pajak. Sementara itu, pada beberapa jenis pajak daerah yang lain, seperti pajak hotel, pihak yang menjadi subjek pajak (yaitu melakukan pembayaran pajak) tidak sama dengan wajib pajak, yaitu pengusaha hotel yang diberi kewenangan untuk memungut pajak dari konsumen (subjek pajak). Oleh karena itu, kedua istilah tersebut, yaitu subjek pajak dan wajib pajak harus dipahami secara benar.[57]
Pajak daerah Seperti yang telah dikemukakan pada terminologi yang digunakan, subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang dikenakan pajak daerah. Dengan demikian, siapa saja, baik orang atau badan, yang memenuhi syarat objektif yang ditentukan dalam suatu Peraturan Daerah tentang pajak daerah, akan menjadi subjek pajak. Sementara itu, wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan perpajakan daerah diwajibkan untuk melakukan pembayaran pajak yang terutang, termasuk pemungut atau pemotong pajak tertentu. Oleh sebab itu, seseorang atau suatu badan menjadi wajib pajak apabila telah ditentukan oleh Peraturan Daerah untuk melakukan pembayaran pajak, serta orang atau badan yang diberi kewenangan untuk memungut pajak dari subjek pajak. Menunjukan bahwa wajib pajak dapat merupakan subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak maupun pihak lain, yang bukan merupakan subjek pajak, yang berwenang untuk memungut pajak dari subjek pajak. Pengertian siapa yang menjadi subjek pajak dan wajib pajak pada suatu jenis pajak daerah ditentukan secara jelas dalam Peraturan Daerah yang mengatur pajak daerah bersangkutan. Penetapan apakah subjek pajak adalah sama dengan wajib pajak tergantung pada jenis pajak bersangkutan. Dapat terlihat jelas sesuai dengan definisi yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah dimaksud.[58]
Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pasal 1 ayat (44) yang berbunyi,
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenakan Pajak.
2.        Retribusi Daerah
a.    Definisi Retribusi Daerah
Pemungutan retribusi daerah terdapat beberapa istilah yang umum digunakan. Istilah tersebut diatur dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.34 Tahun 2000. Penerapan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 menyebabkan adanya penambahan  dan beberapa perubahan istilah pajak daerah. Selengkapnya istilah dalam pengenaan dan pemungutan pajak daerah adalah sebagaimana dibawah ini.[59]
Beberapa pengertian istilah yang terkait dengan retribusi daerah antara lain :
1.        Retribusi daerah yang selanjutnya disebut retribusi adalah, Pungutan daerah sebagai  pembayaran atas jasa atau pemeberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemeritah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
2.        Jasa adalah Kegiatan pemerintah daerah berupa usaha dan pelayanan yang menyebabkan barang, fasilitas atau kemanfaatan lainnya yang dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
3.        Jasa Umum adalah Jasa yang disediakan atau yang diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kamanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
4.        Jasa Usaha adalah Jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip-prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
5.        Perizinan Tertentu adalah Kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan, atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian umum.[60]
Menurut Erly Suandy, dapat menyimpulkan bahwa definisi dari Retribusi Daerah, adalah Pungutan sebagai pembayaran atas jasa yang disediakan oleh pemerintah.[61] Dan definisi terdapat dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 Pasal 1 ayat (64).
b.    Jenis-Jenis Retribusi Daerah
Kelompok jasa yang menjadi objek retribusi daerah dapat dilakukan penggolongan retribusi daerah. Penggolongan jenis retribusi dimaksudkan guna menetapakan kebijakan umum tentang prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi daerah. Sesuai Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 Pasal 18 ayat (2) dan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 Pasal 108 ayat (2-4), retribusi daerah dibagi atas tiga golongan yaitu :
1.        Retribusi Jasa Umum, adalah Jasa yang disediakan atau yang diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kamanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
2.        Retribusi Jasa Usaha, adalah Jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip-prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
3.        Retribusi Perizinan Tertentu, adalah Kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan, atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian umum.
Golongan atau jenis-jenis retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu ditetapkan dengan peraturan pemerintah berdasarkan kriteria tertentu, penetapan retribusi jasa umum dan retribusi jasa usaha dengan Peraturan Pemerintah dimaksudkan agar tercipta ketertiban dalam penerapannya sehingga dapat memberikan kepastian bagi masyarakat dan disesuaikan dengan kebutuhan daerah yang bersangkutan. Penetapan jenis-jenis perizinan tertentu dengan Peraturan Pemerintah dilakukan karena perizinan tersebut, walaupun merupakan kewenang pemerintah daerah, tetap memerlukan koordinasi dengan instansi-instansi tehnis terkait.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 149 Ayat (2-4), penetapan jenis retribusi jasa umum dan retribusi perizinan tertentu untuk daerah Provinsi atau daerah Kabupaten/Kota disesuaikan dengan kewenangan daerah masing-masing sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hal yang sama berlaku untuk penetapan jenis retribusi jasa usaha untuk daerah Provinsi dan daerah Kabupaten/Kota dilakukan sesuai jasa/pelayanan yang diberikan oleh daerah masing-masing. Rincian jenis objek dari setiap retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu diatur dalam Peraturan Daerah yang bersangkutan.[62]
Retribusi daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 adalah sebagaimana di bawah ini :
a)        Retribusi jasa umum yang meliputi :
1)        Retribusi pelayanan kesehatan
2)        Retribusi pelayanan persampahan/kebersihan
3)        Retribusi penggantian biaya cetak kartu tanda penduduk dan akta catatan sipil
4)        Retribusi pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat
5)        Retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum
6)        Retribusi pelayanan pasar
7)        Retribusi pegujian pelayanan kendaraan bermotor
8)        Retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran
9)        Retribusi penggantian biaya cetak peta
10)    Retribusi penyediaan dan atau penyedotan kaskus
11)    Retribusi pengolahan limbah cair
12)    Retribusi pelayanan tera/teraulang
13)    Retribusi pelayanan pendidikan, dan
14)    Retribusi pengendalian menara telekomunikasi
b)        Retribusi jasa khusus/jasa usaha yang meliputi :
1.         Retribusi pemakaian kekayaan daerah
2.         Retribusi pasar grosir atau pertokoan
3.         Retribusi tempat pelelangan
4.         Retribusi terminal
5.         Retribusi tempat khusus parkir
6.         Retribusi tempat penginapan/pesanggrahan/vila
7.         Retribusi rumah potong hewan
8.         Retribusi pelayanan kepelabuhan
9.         Retribusi tempat rekreasi dan olahraga
10.     Retribusi penyebrangan di air, dan
11.     Retribusi penjualan produksi usaha daerah
c)        Retribusi perizinan tertentu yang meliputi :
1.         Retribusi izin mendirikan bangunan
2.         Retribusi izin tempat penjualan minuman berakohol
3.         Retribusi izin gangguan
4.         Retribusi izin trayek
5.         Retribusi izin usaha perikanan.[63]
c.    Objek dan Subjek Retribusi Daerah
1.        Objek Retribusi Daerah
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pasal 18 ayat (1) menentukan bahwa objek retribusi adalah berbagai jenis jasa tertentu yang disediakan oleh pemerintah daerah. Tidak semua jasa yang diberikan oleh pemerintah daerah dapat dipungut retribusinya, tetapi hanya jenis-jenis jasa tertentu yang menurut pertimbangan sosial-ekonomi layak dijadikan sebagai objek retribusi. Jasa tertentu tersebut dikelompokan kedalam tiga golongan, yaitu jasa umum, jasa usaha, dan perizinan tertentu. Hal ini juga diatur didalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dengan demikian, objek retribusi terdiri dari tiga kelompok jasa sebagaimana dibawah ini.[64]
Jasa yang menjadi objek retribusi hanya jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah secara langsung. Apabila ada jasa yang diselenggarakan oleh perangkat pemerintah daerah, tetapi tidak secara langsung, misalkan oleh BUMD, jasa tersebut tidak dikenakan retribusi. Sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 19 yang menjelaskan,
Jasa yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Daerah bukan merupakan obyek retribusi.

Jasa yang secara khusus dikelola oleh BUMD tidak merupakan objek retribusi, tetapi sebagai penerimaan  BUMD sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada dasarnya BUMD merupakan badan usaha yang dimiliki daerah, tetapi dalam melaksanakannya kegiatannya berdiri secara sendiri dan terlepas dari pemerintah daerah. Oleh karena itu, jasa yang diberikan BUMD bukanlah jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Apabila BUMD memanfaatkan jasa atau perizinan tertentu yang diberikan oleh pemerintah daerah, BUMD wajib membayar retribusi daerah.[65]
Penjelasan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah, dimana objek tersebut terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) yang menjelaskan bahwa,
Objek Retribusi jasa umum adalah Pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.

Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi :
Objek Retribusi Jasa Usaha adalah pelayanan yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial.

Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi :
Objek Retribusi Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan sumber daya alam, barang, prasarana, saean, atau fasilitas tertentu guna meleindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.

2.        Subjek Retribusi Daerah
Subjek retribusi jasa umum, adalah Orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan jasa umum yang bersangkutan. Sedangkan yang menjadi wajib retribusi jasa umum adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut atau pemotong retribusi jasa umum.[66] Dan terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah Pasal 2 ayat (3).
Subjek retribusi jasa usaha, adalah Orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan jasa usaha yang bersangkutan. Sedangkan yang menjadi wajib pajak retribusi jasa usaha adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut atau pemotong retribusi jasa usaha.[67]  Dan terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah Pasal 3 ayat (3).
Subjek retribusi perizinan tertentu adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh izin tertentu dari pemerintah daerah. Sedangkan yang menjadi wajib retribusi perizinan tertentu adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut atau pemotong retribusi perizinan tertentu.[68] Dan terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah Pasal 4 ayat (3).
d.    Retribusi Jasa Usaha Rumah Potong Hewan
Retribusi jasa usaha, adalah Retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. Objek retribusi jasa usaha adalah pelayanan yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial. Pelayanan yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial meliputi :
1.        Pelayanan dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan daerah yang belum dimanfaatkan secara optimal; dan
2.        Pelayanan oleh pemerintah daerah sepanjang belum memadai disediakan oleh pihak swasta.[69]
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pasal 18 ayat (3) huruf (b), retribusi jasa usaha ditentukan berdasarkan kriteria berikut ini :
a.         Retribusi jasa usaha bersifat bukan pajak dan bersifat bukan retribusi jasa umum atau retribusi perizinan tertentu.
b.        Jasa yang bersangkutan, adalah Jasa yang bersifat komersial yang seyogiannya disediakan oleh sektor swasta tetapi belum memadai atau terdapatnya harta yang dimiliki/dikuasai daerah yang belum dimanfaatkan secara penuh oleh pemerintah daerah. Pengertian harta adalah semua harta yang bergerak dan tidak bergerak, tidak termasuk uang kas, surat-surat berharga, dan harta lainnya yang bersifat lancar (current asset).[70]
Jenis-Jenis retribusi usaha saat ini diatur dalam dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pasal 127-138. Sebagaimana Retribusi rumah potong hewan termasuk kedalam jenis retribusi jasa usaha yang terdapat dalam Pasal 134 UU No. 28 Tahun 2009 yang menjelaskan bahwa,
1)   Objek Retribusi Rumah Potong Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 huruf (g) adalah pelayanan penyediaan fasilitas rumah pemotongan hewan ternak termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
2)   Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan penyediaan fasilitas rumah pemotongan hewan ternak yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh BUMN, BUMD, dan pihak swasta.[71]

Retribusi jasa usaha rumah potong hewan dijelaskan didalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 terdapat dalam Pasal 3 ayat (2) Huruf (h), yaitu retribusi rumah potong hewan, dan dalam penjelasannya menyatakan bahwa,
Pelayanan rumah ptotong hewan adalah pelayanan penyedian fasilitas rumah potong hewan ternak termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang dimiliki dan/atau dikelola oleh pemerintah daeah.[72]

Retribusi jasa usaha rumah potong hewan dijelaskan lebih rinci dan jelas diatur dalam Peraturan Daerah tingkat II Kabupaten/Kota Kuningan yaitu Perda No. 17 Tahun 1998 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan didalam Pasal 3 yaitu menjelaskan bahwa, retribusi rumah potong hewan digolongkan sebagai Retribusi Jasa Usaha.[73]
Retribusi jasa usaha rumah potong hewan dalam peraturan ternyata diatur secara berurutan dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah sampai Peraturan Daerah saling berkaitan.

e.    Prinsip Dan Sasaran Penetapan Tarif Retribusi Daerah
Retribusi yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang menggunakan jasa atau perizinan tertentu dengan cara pengalihan tingkat penggunaan jasa dengan tarif retribusi. Dengan demikian, besarnya yang terutang dihitung berdasarkan tarif retribusi dan tingkat penggunaan jasa.[74]
Tingkat penggunaan jasa, adalah Jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul pemerintah daerah untuk penyelengaraan jasa yang bersangkutan. Misalkan berapa kali masuk tempat rekreasi, berapa kali/berapa jam parkir kendaraan, dan sebagainya. Akan tetapi, adapula penggunaan jasa yang tidak dapat dengan mudah diukur. Apabila tingkat penggunaan jasa sulit diukur maka  tingkat penggunaan jasa dapat ditaksir berdasarkan rumus yang dibuat oleh pemerintah daerah.[75]
Tarif retribusi, adalah Nilai rupiah atau presentase tertentu yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi daerah yang terutang. Tarif retribusi dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif retribusi. Misalkan pembedaan retribusi tempat rekreasi antara anak dan dewasa, retribusi parkir antara sepeda motor dan mobil, retribusi pasar antara kios dan los, dan retribusi sampah antara rumah tangga dan industri. Besarnya tarif dapat dapat dinyatakan dalam rupiah per/unit tingkat penggunaan jasa.[76]
Tarif retribusi daerah ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan memperhatikan prinsip dan sasaran penetapan tarif yang berbeda antara golongan retribusi daerah. Sesuai dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Pasal 8-10 Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi daerah ditentukan sebagai berikut :
1.        Tarif retribusi jasa umum ditetapkan berdasarkan kebijakan daerah dengan mempertimbangkan biaya penyedian jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, dan aspek keadilan. Penetapan tarif retribusi jasa umum pada dasarnya disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai jenis-jenis retribusi yang berhubungan dengan kepentingan nasional. Disamping itu tetap memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat. Dengan ketentuan ini maka daerah mempuyai kewenangan untuk menetapkan prinsip dan sasaran yang dicapai dalam menetapkan tarif retribusi jasa umum. Seperti untuk menutup sebagian atau sama  dengan biaya penyedian jasa yang bersangkutan dan membantu golongan masyarakat kurang mampu sesuai dengan jenis pelayanan yang diberikan. Dengan demikian, prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi jasa umum dapat dapat berbeda menurut jenis pelayanan dalam jasa yang bersangkutan dan golongan pengguna jasa. Sebagai contoh dapat dilihat berikut ini.
a)    Tarif retribusi persampahan untuk golongan masyarakat mampu dapat ditetapkan sedemikian rupa sehingga dapat menutupi biaya pengumpulan, transportasi, dan pembuangan sampah. Sedangkan untuk golongan masyarakat yang kurang mampu tarif ditetapkan lebih rendah.
b)   Tarif rawat inap kelas tinggi bagi retribusi pelayanan rumah sakit umum daerah umum daerah dapat ditetapkan lebih besar daripada biaya pelayanannya sehingga memungkinkan adanya subsidi silang bagi tarif rawat inap kelas yang lebih rendah.
c)    Tarif retribusi parkir ditepi jalan umum yang rawan kemacetan dapat ditetapkan lebih tinggi daripada jalan umum yang kurang rawan kemacetan dengan sasaran mengendalikan tingkat  penggunaan jasa parkir sehingga tidak menghalangi kelancaran lalulintas.[77]
2.        Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 153, prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi jasa usaha didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak. Keuntungan yang layak adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan beroreantasi pada harga pasar.
3.        Tarif retribusi perizinan tertentu ditetapkan berdasarkan pada tujuan untuk menutupi sebagian atau  seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. Tarif retribusi perizinan tertentu ditetapkan sedemikian rupa sehingga hasil retribusi dapat menutup sebagian atau seluruh perkiraan biaya yang diperlukan untuk menyediakan jasa yang besangkutan. Biaya penyelenggaraan izin yang bersangkutan meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan dilapangan, penegakan hukum, penatausahan, dan biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut. Untuk pemberian izin bangunan, misalkan, dapat diperhitungkan biaya pengecekan dan pengukuran lokasi, biaya pemetaan dan biaya pengawasan.[78]
Besarnya  retribusi daerah yang harus dibayar oleh orang pribadi atau badan yang menggunakan jasa yang bersangkutan dihitung dari perkalian antara tarif retribusi dan tingkat penggunaan jasa.[79]
3.        Definisi Hewan Unggas dan Ruma Potong Hewan
Unggas (poultry) adalah jenis ternak bersayap dari kelas Aves yang telah didomestikasikan dan cara hidupnya diatur oleh manusia dengan tujuan untuk memberikan nilai ekonomis dalam bentuk barang (daging dan telur) dan jasa (pendapatan). Termasuk kelompok unggas  ayam (petelur dan pedaging), ayam kampung, itik, kalkun, burung puyuh, burung merpati, dan angsa yang sekarang sudah diusahakan secara komersial. Sementara itu, burung mutiara, kasuari dan burung unta masih dijejaki kemungkinannya untuk diternakan secara komersial.[80]
Unggas (poultry) adalah jenis hewan ternak kelompok burung yang dimanfaatkan untuk daging dan/atau telurnya. Umumnya merupakan bagian dari ordo galliformes (seperti ayam dan kalkun), dan anseriformes (seperti bebek). Kata unggas juga umumnya digunakan untuk burung pedaging seperti diatas. Lebih luasnya, kata ini juga dapat digunakan untuk daging burung jenis lain seperti merpati.[81]
Hewan atau disebut juga dengan binatang adalah kelompok organisme yang diklasifikasikan dalam kerajaan animalia atau metazoa, adalah salah satu dari berbagai makhluk hidup di Bumi. Sebutan lainnya adalah fauna dan margasatwa (atau satwa saja). Hewan dalam pengertian sistematika modern mencakup hanya kelompok bersel banyak (multiselular) dan terorganisasi dalam fungsi-fungsi yang berbeda (jaringan), sehingga kelompok ini disebut juga histozoa. Semua binatang heterotrof, artinya tidak membuat energi sendiri, tetapi harus mengambil dari lingkungan sekitarnya.
Kata "hewan" berasal dari bahasa Latin yaitu "animalis", yang berarti "memiliki napas". Dalam penggunaan nonformal sehari-hari, kata tersebut biasanya mengacu pada hewan bukan manusia. Kadang-kadang, kerabat dekat manusia seperti mamalia dan vertebrata lainnya ditujukan dalam penggunaan nonformal. Definisi biologis dari kata tersebut mengacu pada semua anggota kingdom Animalia, meliputi makhluk yang beragam seperti spons, ubur-ubur, serangga dan manusia.[82]
Menurut Perda Kab. Kuningan No. 17 Tahun 1998 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan, terdapat dalam Pasal 1 Huruf (f) yaitu: Hewan adalah meliputi Hewan Besar, Kecil dan Unggas.
a.    Definisi Rumah Potong Hewan
Pengertian tentang Rumah potong hewan dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 dimana terdapat dalam Pasal 134 yang menjelaskan dan berbunyi sebagai berikut : Ayat (1) yaitu,
Objek Retribusi Rumah Potong Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 huruf (g) adalah pelayanan penyediaan fasilitas rumah pemotongan hewan ternak termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.

Ayat (2) bahwa,
Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan penyediaan fasilitas rumah pemotongan hewan ternak yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh BUMN, BUMD, dan pihak swasta.[83]

Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah, dijelaskan bahwa definisi Rumah Potong Hewan dalam Penjelasannya Pasal 3 Huruf (h), Yaitu,
Pelayanan rumah potong hewan adalah pelayanan penyedian faasilitas rumah potong hewan ternak termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan sebelum dan sesudah dipotong, yang dimilki dan/atau dikelola oleh pemerintah daerah.[84]

Sedangkan dalam Peraturan Daerah Kab. Kuningan TK II Nomor 17 Tahun 1998 yang berbunyi bahwa,
Rumah Potong Hewan (RPH) adalah suatu rumah atau bangunan tempat melakukan kegiatan penyimpanan, pemeriksaan dan penyembelihan hewan serta pemeriksaan dan penyimpanan daging.[85]

b.    Objek dan Subjek Rumah Potong Hewan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 134 ayat (1) yaitu : Objek Retribusi Rumah Potong Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 huruf (g) adalah pelayanan penyediaan fasilitas rumah pemotongan hewan ternak termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
Peraturan Daerah Kab. Kuningan No. 17 Tahun 1998 dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (2 dan 3) yang berbunyi,
Obyek retribusi adalah pelayanan penyediaan fasilitas rumah potong hewan. Dan Subyek retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan fasilitas rumah potong hewan.




















BAB III
PEMBAYARAN RETRIBUSI PAJAK JASA USAHA RUMAH POTONG HEWAN UNGGAS DI KABUPATEN KUNINGAN

A.      Implementasi Pembayaran Retribusi Pajak Rumah Potong Hewan Unggas di Kabupaten Kuningan dihubungkan dengan Perda Nomor 17 Tahun 1998
Rumah potong hewan di Kabupaten Kuningan, banyak yang melakukan usaha pemotongan unggas, peternakan, atau pemotongan yang lainya. Rumah potong hewan unggas di Kabupaten Kuningan mayoritas RPH swasta yang dibangun oleh pihak swasta baik perseorangan maupun kelompok, dan RPH yang dimilik Pemerintahan Daerah atau BUMD terdapat satu. Pemungutan retribusi rumah potong hewan yang ada di Kabupaten Kuningan dilakukan oleh Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan (DP3), melalui PUSKESWAN (Pusat Kesehatan Hewan) yaitu merupakan kantor cabang dari DP3 (Bidang Peternakan). Puskeswan yang ditugaskan dalam pemungutan retribusi rumah potong hewan yang ada di Kabupaten Kuningan terdapat 3 yaitu Kecamatan Kuningan, Ciawigebang, dan Cilimus. Berdasarkan hasil penelitian yang menjadi obyek retribusi rumah potong yaitu sebagai berikut :
Tabel 1 : Daftar RPH Unggas di PUSKESWAN Kecamatan Kuningan-Cigugur yang terkena wajib retribusi setiap per/bulan sekali
No.
Tanggal Penerimaan
Nomor Seri Karcis
Nama Pedagang
Lokasi Berdagang
Jumlah Setor (Rupiah)
1
12-April-2012
028850
Andi
Pasar Baru
Rp. 5.000
2
12-April-2012
028851
Oyoh
Pasar Baru
Rp. 3.000
3
12-April-2012
028852
Hj. Wati
Pasar Baru
Rp. 35.000
4
12-April-2012
028853
Mimin
Pasar Baru
Rp. 3.000
5
12-April-2012
028854
Aim
Pasar Baru
Rp. 1.000
6
12-April-2012
028855
Bedah
Pasar Baru
Rp. 1.000
7
12-April-2012
028856
Eti
Pasar Baru
Rp. 1.000
8
12-April-2012
028857
Juju
Pasar Baru
Rp. 2.000
9
12-April-2012
028858
Onah
Pasar Baru
Rp. 2.000
10
12-April-2012
028859
Ujang
Pasar Baru
Rp. 10.000
11
12-April-2012
028860
Dedeh
Pasar Baru
Rp. 10.000
12
12-April-2012
028861
Yayah
Pasar Baru
Rp. 2.000
13
12-April-2012
028862
Wahyu
Pasar Baru
Rp. 5.000
14
12-April-2012
028863
Oyo
Pasar Kepuh
Rp. 10.000
15
12-April-2012
028864
Dona
Pasar Kepuh
Rp. 3.000
16
12-April-2012
028865
Adnan
Pasar Kepuh
Rp. 5.000
17
12-April-2012
028866
Eman
Pasar Kepuh
Rp. 2.000
18
12-April-2012
028867
Hj. Ohan
Pasar Kepuh
Rp. 25.000
19
12-April-2012
028868
Dadang
Pasar Kepuh
Rp. 2.000
20
12-April-2012
028869
Inah
Pasar Kepuh
Rp. 2.000
21
12-April-2012
028870
Nono
Pasar Kepuh
Rp. 3.000
22
12-April-2012
028871
Entin
Pasar Kepuh
Rp. 10.000
23
12-April-2012
028872
H. Suhri
Pasar Kepuh
Rp. 5.000
24
12-April-2012
028873
Andi
Pasar Kepuh
Rp. 2.000
25
12-April-2012
028874
Onong
Pasar Baru
Rp. 10.000
26
12-April-2012
028875
As. Putra (RPU)
Winduhaji
Rp. 100.000




Jumlah
Rp. 259.000
Berdasarkan tabel diatas menunjukan bahwa pemungutan yang dilakukan oleh Puskeswan Kecamatan Kuningan yang berada di Desa Cigugur pada bulan April 2012 yaitu sebesar Rp. 259.000 /bulan, Puskeswan Kec. Kuningan diberi tugas berkewajiban melakukan penyetoran sebesar Rp. 2.500.000,- /Tahun kepada kantor pusat yaitu DP3.[86]
Tabel 2 : Daftar RPH di PUSKESWAN Kec. Ciawigebang-Kadurama
No.
Nama
Jenis Usaha
Jumlah (Rp)
Alamat
1
Siti
Ayam
1.000
Ciawilor
2
Bardu
Ayam
1.000
Ciawilor
3
Elin
Ayam
1.000
Ciawilor
4
Bu. Guru
Ayam
2.000
Ciawilor
5
Poniman
Ayam
2.000
Ciawilor
6
Dedi
Ayam
1.000
Kadurama
7
Tati
Ayam
1.000
Kadurama
8
Eru
Ayam
1.000
Kadurama
9
Irah
Ayam
1.000
Kadurama
10
Titin
Ayam
1.000
Kadurama
11
Rus
Ayam
1.000
Kadurama
12
Nana
Ayam
2.000
Kadurama
13
Yunus
Ayam
2.000
Kadurama
14
H. Dudi
Ayam
1.000
Pangkalan
15
Lilis
Ayam
1.000
Pangkalan
16
Inah
Ayam
1.000
Pamulihan
17
Dadang
Domba
2.000
Ciawilor
18
Endang
Domba
2.000
Ciawilor
19
Nunu
Domba
2.000
Ciawilor
20
Ruknia
Domba
2.000
Ciawilor
21
H. Abyas
Domba
2.000
Taraju
22
Engkus
Domba
2.000
Ciawilor
23
Encum
Domba
2.000
Pangkalan
24
Asdi
Domba 
2.000
Ciawilor
25
Iwan
Sapi
5.000
Ciawilor
26
Ali
Sapi
5.000
Ciawigebang
27
H. Udin
Sapi
5.000
Ciawigebang
28
Dedi
Sapi
5.000
Taraju
29
Didi
Sapi
7.000
Ciawigebang
30
Enjum
Sapi
10.000
Kadurama
31
Mahnun
RPA
20.000
Ciawilor
32
Mamat
RPA
20.000
Kalimanggis


Jumlah
113.000

Berdasarkan tabel diatas menunjukan bahwa pemungutan retribusi rumah potong hewan yang dilakukan oleh Puskeswan Kecamatan Ciawigebang pemungutannya dilaksanakan seminggu sekali. Pemungutan retribusi tidak jauh berbeda dengan Puskeswan yang lainnya yaitu sama dalam penyetorannya kepada DP3, akan tetapi berbeda dalam pemungutan yang dilaksanakannya, berbeda dalam pemungutannya ialah tidak melakukan pengujian/pemeriksaan hewan terlebih dahulu, tidak seperti Puskeswan yang di Kec. Kuningan melakukan pemeriksaan. Sedangkan Puskeswan Kecamatan Ciawigebang berkewajiban melakukan target penyetoran kepada DP3 sebesar Rp. 3.000.000,- /Tahun. Data yang diperoleh dari DP3 yang melakukan usaha RPH berjumlah 58 orang yang masih aktif dalam membayar retribusi, padahal di Kab. Kuningan masih banyak yang melakukan usaha RPH akan tetapi kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap retribusi masih kurang.
Implementasi pemungutan retribusi rumah potong hewan unggas di Kab. Kuningan dilaksanakan dari aparatur pemerintahan dari tingkat atas sampai tingkat bawah, yang dimaksud adalah bahwa Pemerintahan Daerah Kabupaten memberikan tugas dan kewenangan terhadap Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan (DP3). Yang menjadi landasan hukum Pemerintah Daerah memberikan tugas dan kewenangannya kepada DP3 berdasarkan Peraturan Daerah Kab. Kuningan No. 11 Tahun 2008 tentang Dinas Daerah Pasal 23 tentang Pembiayaan, berbunyi,
Pembiayaan Dinas Daerah dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Kuningan.
yang dimaksud adalah bahwa setiap Dinas Daerah yang ada di Kabupaten Kuningan berkewajiban melakukan penyetoran kepada Dinas Pendapatan Daerah (DIPENDA). Sedangkan Pasal 22 (1) tentang Tata Kerja Dinas Daerah menjelaskan bahwa,
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Kepala Dinas,  Sekretaris, Kepala Bidang, Kepala Sub Bagian, Seksi dan Kelompok Jabatan Fungsional wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi dan sinkronisasi baik dalam lingkungannya masing-masing maupun antar kesatuan organisasi di lingkungan Pemerintah Daerah serta instansi lain di luar Pemerintah Daerah sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing.

Berdasarkan Pasal 22 DP3 berkewajiban melaksanakan tugasnya masing-masing, adapun tugas dan fungsi DP3 Kabupaten Kuningan yaitu :
1.        Melaksanakan Otonomi Daerah di Bidang Pertanian yang mencakup Tanaman Pangan, Hortikurtura, Peternakan dan Perikanan.
2.        Perumusan kebijakan teknis di bidang pertanian, peternakan dan perikanan.
3.        Pelaksanaan dan penyelenggaraan kebijakan teknis di bidang pertanian, peternakan dan perikanan.
4.        Pemberian rekomendasi teknis dalam hal perijinan yang dikeluarkan oleh Lembaga berwenang dan pelaksanaan pelayanan prima untuk umum.
5.        Pembinaan terhadap unit-unit kerja di lingkungan Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan.
6.        Pengelolaan urusan ketatausahaan Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan.
7.        Menggali sumber-sumber Pendapatan asli daerah dari Pertanian, Perikanan, dan Peternakan.[87]
Peraturan Bupati Nomor 41 Tahun 2008 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Uraian Tugas Dinas Pendapatan, UPTD yang berkawajiban melakukan penyetoran terhadap Dipenda, salah satunya merupakan sumber dari pendapatan asli daerah misalkan pajak dan retribusi rumah potong hewan yang dilakukan oleh DP3 berkewajiban melakukan penyetoran terhadap DIPENDA yaitu sebesar Rp. 24.000.000,- /tahun kepada DIPENDA sebagai PAD.
Dinas Pertanian, Perikanan dan Peternakan mempuyai tugas dan kewenangannya setiap Bidangnya masing-masing, dalam pemungutan retribusi RPH dilakukan oleh Bidang Peternakan, yang mempuyai kantor cabang yaitu PUSKESWAN (Pusat Kesehatan Hewan) yang merupakan pegawai dari DP3 yang diberi tugas sebagai berikut :
1.        Melakukan pengujian kesehatan terhadap hewan
2.        Melakukan pemeriksaan hewan
3.        Melakukan pemungutan retribusi rumah potong hewan
4.        Membayar kewajiban setor kepada bendahara DP3
Prosedur dalam pelaksanaan pemungutan retribusi rumah potong hewan yang berada di Kabupaten Kuningan pemungutannya dilakukan oleh pegawai DP3 oleh kantor cabang PUSKESWAN disetiap Kecamatan dengan mendatangi langsung terhadap pemilik rumah potong hewan unggas, pemungutannya yang dilakukan secara langsung dilakukan setiap seminggu sekali dan ada juga yang dipungut setiap sebulan sekali. Hasil Observasi jumlah rupiah yang dipungut oleh petugas DP3 tidak berdasarkan Perda No. 17 Tahun 1998 Pasal 9 tentang Besar Tarifnya. Pemungutan retribusi yang ditentukan oleh DP3 berdasarkan kemampuan pemilik RPH unggas dan jumlah pemotongan perhari dikali dengan jumlah rupiah pemeriksaan daging yaitu Rp. 50.- /Kg (Pasal 9 Huruf (d)). Petugas pemungutan melakukan langsung kelokasi RPH yang terkena wajib retribusi dengan membawa sujumlah Karcis atau Tanda Bukti Pembayaran sebagai bukti telah melakukan pembayaran yang ditanda tangani petugas pemungutan dan diberi cap DP3.[88]
Peraturan yang menjadi prosedur pembayaran retribusi terdapat dalam Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 1998 Pasal 11 diatur mengenai Tata Cara Pemungutan yaitu,
(1)      Pemungutan retribusi tidak dapat diborongkan.
(2)      Retribusi dipungut dengan menggunakan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.[89]

Pemungutan retribusi tidak dapat diborongkan. Artinya seluruh proses kegiatan pemungutan retribusi tidak dapat diserahkan kepada pihak ketiga. Namun, dalam pengertian ini bukan berarti bahwa pemerintah daerah tidak boleh bekerja sama dengan pihak ketiga. Dengan sangat selektif dalam pemungutan retribusi, pemerintah daerah dapat mengajak bekerja sama badan-badan tertentu yang karena profesionalismennya layak dipercaya untuk ikut melaksanakan sebagian tugas pemungutan jenis retribusi tertentu secara lebih efisien. Kegiatan pemungutan retribusi yang tidak dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga adalah kegiatan perhitungan besarnya retribusi yang terutang, pengawasan penyetoran retribusi, dan penagihan retribusi. Retribusi dipungut dengan menggunakan Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD) atau dokumen lain yang dipersamakan. Antara lain berupa karcis masuk, kupon, dan kartu langganan.[90]
Mengukur tingkat penggunaan jasa dan prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur  dan besarnya tarif terdapat dalam  Perda No. 17 Tahun 1998 yaitu Pasal 8 dan Pasal 9 diantaranya :


Pasal 8
(1)      Tingkat penggunaan jasa Retribusi Rumah Potong diukur berdasarkan jenis hewan, jenis pemeriksaan, volume/sampel dan unsur bahan pemeriksaan.
(2)      Prinsip Penetapan Tarif Retribusi Rumah Potong Hewan didasarkan kepada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak sebagai pengganti biaya administrasi, biaya pembangunan, perawatan Rumah Potong, kebersihan dan pelayanan pemotongan hewan.

Pasal 9
Struktur dan besarnya tarif retribusi untuk setiap ekor ditetapkan sebagai berikut:
A.  Hewan Besar.
d.   Pemakaian Kandang..................................................     Rp.      1.500,00
e.    Pemotongan Hewan .................................................     Rp.      4.500,00
f.     Penyimpanan Daging ...............................................     Rp.      1.000,00
B.  Hewan Kecil.
d.   Pemakaian Kandang .................................................     Rp.         200,00
e.    Pemotongan Hewan .................................................     Rp.      2.500,00
f.     Penyimpanan Daging................................................     Rp.         200,00
C.  Unggas.
d.   Pemakaian Kandang .................................................     Rp.           20,00
e.    Pemotongan Hewan .................................................     Rp.         150,00
f.     Penyimpanan Daging................................................     Rp.           20,00
D.  Biaya pemeriksaan ulang daging untuk setiap Kg.........     Rp.           50,00
(3) Biaya Penyembelihan dimaksud huruf a, b dan c ayat (2) pasal ini belum termasuk ongkos Jagal atau Petugas Penyembelih.[91]

Peraturan Daerah yang telah dijelaskan diatas ternyata antara harapan dan kenyataan tidak sesuai, dalam prosedur pemungutan menentukan jumlah tarif retribusi dengan peraturan daerah yang sudah ditetapkan, dan beberapa wawancara yang sudah disampaikan oleh petugas pemungut DP3. Berdasarkan Pasal 9 huruf (a,b,c dan d) bahwa sudah jelas jumlah biaya yang seharusnya dibayarkan oleh wajib retribusi, akan tetapi dalam kenyataannya yang berlaku hanya Pasal 9 huruf (d) yaitu pemeriksaan daging, untuk hewan besar, kecil dan unggas kurang diberlakukan, padahal apabila diberlakukan dapat meningkatkan PAD, disinilah masyarakat di Kab. Kuningan masih kurang peduli dan kesadarannya terhadap retribusi.
Penulis dapat menyimpulkan dari hasil penelitian dalam melakukan proses prosedur pembayaran retribusi rumah potong hewan unggas di Kabupaten Kuningan dihubungkan dengan Perda No. 17 Tahun 1998, diantaranya :
1.        Pemungutan pembayaran dilakukan langsung oleh pegawai Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan melalui kantor cabang yaitu PUSKESWAN
2.        Puskeswan malakukan pengujian sample kesehatan hewan terlebih dahulu.
3.        Pemungutan dilakukan langsung ditempat/lokasi rumah potong hewan unggas.
4.        Pemungutannya dilakukan setiap seminggu sekali, atau sebulan sekali
5.        Jumlah pembayaran dihitung, pemotongan perhari dikali pemeriksaan daging.
6.        Pemungutannya tidak dapat diborongkan.
7.        Retribusi dipungut dengan menggunakan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan. Karcis Atau Tanda Bukti Pembayaran.
8.        Puskeswan berkewajiban melakukan penyetoran kepada bendahara DP3, dan
9.        DP3 berkewajiban melakukan penyetoran kepada DIPENDA sebagai sumber PAD.

B.       Kendala Pembayaran Retribusi Pajak Rumah Potong Hewan Unggas di Kabupaten Kuningan dihubungkan dengan Perda Nomor 17 Tahun 1998
Kendala dalam pemungutan pembayaran retribusi rumah potong hewan unggas di Kabupaten Kuningan yang harus dilalui untuk mendapatkan sejumlah uang dari wajib retribusi, Kendala yang dihadapi dalam pemungutan yaitu Pertama, subyek RPH di Kabupaten Kuningan yang terkena wajib retribusi masih banyak yang kurang cakap terhadap peraturan Perda No. 17 Tahun 1998 yang mengatur retribusi rumah potong hewan, jadi petugas selaku pemungut mendapatkan kendala akan keterbatasan pemilik RPH di Kab. Kuningan mengenai pemungutan retribusi, apabila subyek mengerti terhadap peraturan yang sudah ditentukan dapat menigkatkan pendapatan daerah. Kedua, tentang jumlah tarif, subyek RPH menganggap terlalu besar jumlah tarif yang ditentukan dalam peraturan tersebut, yang artinya bila terlalu tinggi, rata-rata pemilik RPH menjadi enggan membayar retribusi, namun apabila rendah, maka pembangunan daerah akan kurang berjalan dengan cepat karena dana yang dipungut kurang, jadi DP3 dalam menentukan jumlah tarif yang dipakai dalam Perda Pasal 9 huruf (d) yaitu pemeriksaan daging dikali (x) dengan jumlah pemotongan perhari.
Ketiga, Subyek RPH yang terkena wajib retribusi telat dalam pembayaran atau sering ditunda-tunda, terkadang melakukan yang tidak diinginkan oleh petugas pemugutan, seperti menghindari petugas dengan alasan/pura-pura untuk menghindarinya. Keempat, subyek RPH kurang akan kesadaran melakukan pembayaran langsung, adapun petugas pemungutan retribusi mendatangi langsung ketempat RPH yang terkena wajib retribusi, apabila tidak didatangi langsung RPH mengabaikan pembayaran retribusi, disinilah yang menjadi salah satu kendala DP3 dalam meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya retribusi untuk pembangunan daerah. Kelima, kurang kepercayaan antara subyek RPH dan petugas pemungutan, yang menjadikan kurang kepercayaan terhadap petugas yaitu ditakutkan dengan oknum pemungut retribusi. Subyek RPH takut terhadap jumlah tarif yang ditentukan menjadi berlebihan atau tidak masuk kepada kas Pemda, disinilah petugas pemungutan harus ekstra dalam melakukan presentasinya agar masyarakat percaya dan dapat membedakan mana petugas yang asli dan yang palsu.[92]
Menurut Mardiasmo hambatan-hambatan  terhadap pemungutan retribusi pajak dapat dikelompokan menjadi :
3)        Perlawanan Pasif
Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak yang disebabkan antara lain :
d)   Perkembangan intelektual dan moral masyarakat
e)    Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat
f)    Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik
4)        Perlawanan Aktif
Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditunjukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak bentuknya antara lain :
c)    Tax avoidance,  usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang.
d)   Tax evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar undang-undang (menggelapkan pajak).[93]
Perda No.17 Tahun 1998, bahwa ada beberapa pasal yang harus ditaati oleh masyarakat dalam melakukan pembayaran retribusi diantaranya Pasal 17 dan 19 yaitu :
Pasal 17
(1) Pembayaran retribusi yang terutang harus dibayar sekaligus.
(2) Retribusi yang terutang dilunasi selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diterbitkannya SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
(3) Tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran retribusi diatur oleh Kepala Daerah.

Pasal 19
(1)      Surat Teguran atau Surat Peringatan atau Surat lain yang sejenis sebagai awal tindakan pelaksanaan penagihan retribusi dikeluarkan 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran.
(2)      Dalam jangka 7 (tujuh) hari setelah tanggal Surat Teguran atau Surat Peringatan atau Surat lain yang sejenis disampaikan Wajib Retribusi harus melunasi retribusi yang terutang.
(3)      Surat Teguran, Surat Peringatan atau Surat lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk.

RPH yang terkena Pasal 17 dan 19, yang tidak membayar retribusi yang terutang harus membayar dilunasi selambat-lambatnya 30 hari, dan retribusi yang terutang apabila tidak membayar diberikan surat teguran atau surat peringatan. Tapi dari kenyataan dilapangan masih enggan atau tdak memperdulikan apa yang dijelaskan dalam Pasal 17 dan pasal 19, masyarakat kadang harus dimanjakan atau petugas pemungutan harus melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pajak dan retribusi kepada masyarakat. Dan disinilah termasuk yang menjadi kendala dalam melakukan pemungutan retribusi.
Sumber yang telah diuraikan diatas dapat menyimpulkan beberapa unsur-unsur kendala, ternyata dari hasil peniltian dan beberapa wawancara kepada Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan, yang menjadi kendala dalam pemungutan pembayaran retribusi yaitu sebagai berikut :
1.        Subyek RPH masih kurang cakapnya terhadap aturan tentang retribusi dan perpajakan.
2.        Pemungutan biaya yang dianggap besar, sebagian pemilik RPH menjadi enggan membayar retribusi ataupun komplen.
3.        Subyek RPH dalam membayar retribusi telat atau sering ditunda-tunda.
4.        Kurangnya kesadaran pemilik RPH dalam membayar langsung.
5.        Kurangnya kepercayaan antara Subyek RPH dengan petugas pemungutan.
6.        RPH yang menjadi wajib pajak dan retribusi takut terhadap oknum/mafia pajak.
7.        Subyek RPH terkadang sembunyi ketika petugas pemungutan datang untuk melakukan tagihan retribusi.
8.        Kurang pedulinya terhadap peraturan daerah yang sudah ditetapkan.

C.      Upaya Mengatasi Kendala Pembayaran Retribusi Pajak Rumah Potong Hewan Unggas di Kabupaten Kuningan dihubungkan dengan Perda No. 17 Tahun 1998
Upaya mengatasi kendala dalam pembayaran retribusi pajak di Kabupaten Kuningan dimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa penulis dapat mengetahui upaya yang harus dilakukan oleh Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan yaitu. Pertama, Mengadakan kegiatan pembinaan kepada masyarakat tentang retribusi dan pajak. Agar masyarakat dapat memahami bahwa penting melakukan membayar pajak dan retribusi untuk pembagunan daerahnya sendiri dan meningkatkan pendapatan asli daerah untuk kesejahteraan masyarakat. Penyuluhan dari DP3 untuk hewan unggas merupakan salah satu konsumsi yang sangat penting dapat diproses dengan layak oleh masyarakat, jadi DP3 melakukan vaksin terlebih dahulu setiap hewan yang akan dipasarkan. Kedua, Bersosialisasi terhadap masyarakat agar dapat percaya terhadap retribusi dan pajak, dengan cara bersosialisasi terhadap masyarakat mengantispasi kendala-kendala yang dihadapi dalam pemungutan, dan dengan bersosialisasi masyarakat tidak segan lagi dalam melakukan pembayaran. Masyarakat tidak menghindari dengan alasan yang merugikan. Ketiga, Meningkatkan penegakan hukum dari pemerintah terhadap petugas retribusi dan pajak dari oknum atau mafia pajak, dalam meningkatkan penegakan hukum untuk masyarakat perlu diawasi terhadap oknum yang meresahkan masyarakat dalam pemungutannya, agar masyarakat dapat melakukan pemabayaran sebagaimana mestinya dan lancar melakukakan pembayaran retribusi. Keempat, Meningkatkan pengawasan pemungutan pajak dan retribusi dari pemerintah, dalam meningkatkan pengawasan terhadap petugas pemungutan retribusi, untuk menghindari keterlibatan konflik/sengketa antara petugas pemungutan dengan masayarakat. Kelima, Pemungutan harus dilakukan secara adil dan seimbang melihat perokoniman masyarakat terlebih dahulu.[94]
Perda No. 17 Tahun 1998 di dalam Pasal 26 tentang Pembinaan dan Pengawasan, dimaksudkan sangatlah penting dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap retribusi untuk kelancaran yang diharapkan. Dalam Pasal 26 menjelaskan sebagai berikut :
(1)  Pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan Peraturan Daerah ini menjadi tugas dan tanggung jawab Dinas.
(2)  Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab dimaksud ayat (1) Pasal ini, Dinas dapat mengadakan koordinasi dengan instansi lain yang terkait.
(3)  Dinas berkewajiban memberikan laporan atas pelaksanaan pembinaan dan pengawasan, kepada Bupati Kepala Daerah.

Penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam upaya mengatasi kendala pembayaran retribusi berdasarkan Perda, DP3 hendaklah melakukan beberapa hal berikut ini :
1.        Mengadakan kegiatan pembinaan kepada masyarakat tentang retribusi dan pajak.
2.        Bersosialisasi terhadap masyarakat agar dapat percaya terhadap petugas pemungutan retribusi dan pajak.
3.        Meningkatkan penegakan hukum dari pemerintah terhadap petugas retribusi dan pajak.
4.        Meningkatkan pengawasan pemungutan pajak dan retribusi dari pemerintah.
5.        Pemungutan harus dilakukan secara adil dan seimbang melihat perokoniman masyarakat terlebih dahulu wajib retribusi dan pajak.
Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah, untuk menigkatan kemapuan keuangan daerah, diperlukan intensifikasi dan ekstensifikasi subjek dan objek pendapatan. Dalam jangka pendek, kegiatan yang paling mudah dan dapat segera dilakukan ialah dengan melakukan intensifikasi terhadap objek atau sumber pendapatan yang sudah ada, terutama melalui pemanfaatan teknologi informasi, untuk mengetahui objek dan subyek pendapatan yang harus menjadi wajib retribusi dan pajak untuk menigkatkan pembangunan daerah.
Upaya yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah dalam rangka menigkatkan pendapatan daerah melalui optimalisasi intesifikasi pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, antara lain dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :
1.        Memperluas basis penerimaan
2.        Memperkuat proses pemungutan
3.        Meningkatkan pengawasan
4.        Meningkatkan efisiensi administrasi dan menekan  biaya pemungutan
5.        Meningkatkan kapasitas penerimaan melalui perencanaan yang lebih baik.[95]
Pajak daerah dan retribusi daerah belum menjadi sumber hasil daerah yang dapat diandalkan, berbeda dengan diluar negri pajak daerah menduduki posisi kuat dan terhormat sebagai penopang keuangan daerah. Tidak semua jenis pajak yang menjadi wewenang daerah dapat dipungut  oleh daerah, hal ini disebabkan oleh :
1.        Objek tidak ada didaerah
2.        Hasil pungutan jauh lebih kecil dari biaya pemungutannya
3.        Peraturan pelaksanaannya belum ada, sebab belum ada pendoman pelaksanaannya
4.        Ada pembekuan atau pencabutan oleh pemerintah, dan
5.        Adanya larangan pemerintah daerah terhadap kegiatan-kegiatan tertentu yang justru merupakan objek pajak daerah.[96]
Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan retribusi rumah potong hewan unggas adalah salah satu faktor pendapatan asli daerah di Kabupaten Kuningan, dengan adanya berbagai macam pungutan retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha dan retribusi perizinan. Dan rumah potong hewan termasuk kedalam retribusi jasa usaha dimana termasuk retribusi yang dipungut oleh pemerintah daerah.
Retribusi yang dipungut oleh pemerintah daerah  sangatlah banyak terdapat di Kabupaten Kuningan yang melakukan usaha rumah potong hewan, dalam penelitian rumah potong hewan unggas merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah, tugas dan kewenangannya dalam pemungutan retribusi RPH dilakukan oleh Dinas Pertanian, Pertenakan dan Perikanan. Sedangkan Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Kuningan disingkat DIPENDA yaitu Dinas yang menentukan jumlah penyetoran kepada UPTD yang lainya, yang menjadi sumber-sumber pendapatan asli daerah.
Pendapatan asli daerah merupakan pencerminan terhadap pendapatan masyarakat, untuk  itu perlu adanya kiat-kiat bagi pemerintah daerah dalam meningkatkan potensi masyarakat dalam pengelolaan sumber-sumber pendapatan masyarakat. Meningkatnya pendapatan masyarakat jelas mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sekaligus menambah Pendapatan Asli Daerah. Peningkatan pendapatan asli daerah tentunya tidak terlepas dari kemampuan pemerintah dalam membina masyarakat dan unsur swasta dalam mewujudkan berbagai bidang usaha, untuk  selanjutnya dapat  memberikan masukan terhadap daerah.
Pelaksanaan rumah potong hewan unggas sebagai pendapatan asli daerah adalah merupakan salah satu sumber  pendapatan asli daerah Kab. Kuningan yang merupakan modal dasar, dalam pelaksanaannya dilakukan oleh DP3 akan tetapi setiap Dinas diberikan tanggung jawabnya masing-masing untuk melaksanakan pembayaran atau setoran ke DIPENDA. Peraturan Daerah Kab. Kuningan No. 11 Tahun 2008 tentang Dinas Daerah Pasal 23 tentang Pembiayaan, menjelaskan bahwa,
Pembiayaan Dinas Daerah dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Kuningan.

Jadi, dalam beberapa wawancara yang dilakukan DP3 dalam pelaksaananya wajib membayar penyetoran tiap tahun sebesar Rp. 24.000.000,- (dua puluh empat juta rupiah) ke DIPENDA Kab. Kuningan. Akan tetapi DP3 mengeluarkan kebijakan dalam tugas terhadap pegawainya dalam Bidang peternakan kepada kantor cabang DP3 yaitu PUSKESWAN Kecamatan, untuk melakukan pemungutan retribusi, Puskeswan juga berkewajiban menyetorkan retribusi yang dipungut kepada DP3.
Masyarakat yang mempunyai usaha RPH swasta masih banyak yang kurang kesadarannya dalam membayar retribusi, padahal tanpa retribusi dan pajak daerah tersebut sangatlah sulit untuk menjalankan roda pemerintahan, penggunaan uang retribusi dan pajak meliputi mulai dari belanja pegawai sampai dengan pembiayaan berbagai proyek pembangunan. Pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai dengan menggunakan uang yang berasal dari pajak dan retribusi. Uang pajak dan retribusi  juga digunakan untuk pembiayaan dalam rangka memberikan rasa aman dan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat. Dan dapat membantu meningkatkan perekonomian dan sosial masyarakat di daerah.





















BAB IV
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Implementasi pembayaran retribusi pajak rumah potong hewan unggas di Kabupaten Kuningan yaitu :
1.        Pemungutan pembayaran dilakukan langsung oleh pegawai Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan melalui kantor cabang yaitu PUSKESWAN
2.        Puskeswan malakukan pengujian sample kesehatan hewan terlebih dahulu.
3.        Pemungutan dilakukan langsung ditempat/lokasi rumah potong hewan unggas.
4.        Pemungutannya dilakukan setiap seminggu sekali, atau sebulan sekali
5.        Jumlah pembayaran dihitung, pemotongan perhari dikali pemeriksaan daging.
6.        Pemungutannya tidak dapat diborongkan.
7.        Retribusi dipungut dengan menggunakan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan. Karcis Atau Tanda Bukti Pembayaran.
8.        Puskeswan berkewajiban melakukan penyetoran kepada bendahara DP3, dan
9.        DP3 berkewajiban melakukan penyetoran kepada DIPENDA sebagai sumber PAD.
Kendala pembayaran retribusi pajak rumah potong hewan unggas di Kabupaten Kuningan yaitu :
1.        Subyek RPH masih kurang cakapnya terhadap aturan tentang retribusi dan perpajakan.
2.        Pemungutan biaya yang dianggap besar, sebagian pemilik RPH menjadi enggan membayar retribusi ataupun komplen.
3.        Subyek RPH dalam membayar retribusi telat atau sering ditunda-tunda.
4.        Kurangnya kesadaran pemilik RPH dalam membayar langsung.
5.        Kurangnya kepercayaan antara Subyek RPH dengan petugas pemungutan.
6.        RPH yang menjadi wajib pajak dan retribusi takut terhadap oknum/mafia pajak.
7.        Subyek RPH terkadang sembunyi ketika petugas pemungutan datang untuk melakukan tagihan retribusi.
8.        Kurang pedulinya terhadap peraturan daerah yang sudah ditetapkan.
Upaya mengatasi kendala pembayaran retribusi pajak rumah potong hewan unggas di Kabupaten Kuningan ialah sebagai berikut :
1.        Mengadakan kegiatan pembinaan kepada masyarakat tentang retribusi dan pajak.
2.        Bersosialisasi terhadap masyarakat agar dapat percaya terhadap petugas pemungutan retribusi dan pajak.
3.        Meningkatkan penegakan hukum dari pemerintah terhadap petugas retribusi dan pajak.
4.        Meningkatkan pengawasan pemungutan pajak dan retribusi dari pemerintah.
5.        Pemungutan harus dilakukan secara adil dan seimbang melihat perokoniman masyarakat terlebih dahulu wajib retribusi dan pajak.




DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Abdurrahmat Fathoni, Metode Penelitan dan Teknik Penyusunan Skripsi, Jakarta:  Rineka Cipta, 2006
Achmad Tjahjono dan Muhammad F. Husain, Perpajakan, Yogyakarta: Akademika Manajemen Perusahaan YKPN, 1997
Adrian Sutedi, Hukum Pajak dan Retribusi Daerah, Bogor: Ghalia Indonesia, 2008
Amandemen Lenkap UUD 1945 dan Susunan Kabinet 2009-2014, Yogyakarta: Buku Pintar, 2010
Cik Hasan Bisri, Penuntun Penyusunan Rencana Penelitian dan Penyusunan Skripsi, Jakarta: Rajawali Pers, 2001
Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007
Josef Riwu Kaho, Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Peningkatan Pemungutan Retribusi Daerah, Jakarta: Gramedia, 1987
Kansil C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986
Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi, Yogyakarta: Andi Offset, 2008
Siahaan, Marihot Pahala, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Edisi Revisi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Lengkap, Bandung: Fokusmedia, 2009
Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, Hukum Pemerintah Daerah, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005
R. Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: PT Eresco, 1993
Rochmat Sumitro, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan, Bandung: PT Eresco, 1979
Slamet Munawir, Perpajakan Untuk SLTA, Yogyakarta: BPFE UGM, 1990
Suandy Erly, Hukum Pajak, Jakarta: Salemba Empat, 2000
Tri Yuanta, Dasar Ternak Unggas, Yogyakarta: Kanisius, 2008
Utang Rosidin, Otonomi Daerah dan Desentralisasi, Bandung: Pustaka Setia, 2010

Peraturan-Peraturan :
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.
Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 17 Tahun 1998 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan.
Peraturan Daerah Kabaputen Kuningan Nomor 11 Tahun 2008 tentang Dinas Daerah.
Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 41 Tahun 2008 tentang Tugas Pokok, Fungsi Dan Uraian Tugas Dinas Pendapatan.

Internet :
Digital Library Universitas Sebelas Maret, Evaluasi Retribusi Rumah Potong Hewan Terhadap Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Kota Surakarta (http://digilib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=detail&d_id=981)
Joe Edukasi, Makalah Undang-Undang Pemotongan Hewan,
Joe Edukasi, Makalah Undang- Undang Pendirian Peternakan.
Ninyasmine, Kendala Pajak Daerah,
Profil Kabupaten Kuningan (http://www.kuningankab.go.id/)










Description: Description: D:\Wallpappers\Bingkai Undangan\scroll.jpg








LAMPIRAN
















  Sandi Faisal, S.H





[1] Amandemen Lenkap UUD 1945 dan Susunan Kabinet 2009-2014, Yogyakarta: Buku Pintar, 2010, hlm. 29
[3] Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Lengkap, Bandung: Fokusmedia, 2009, hlm. 5
[4] Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
[5] Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi, Yogyakarta: Andi Offset, 2008, hlm. 1-2
[6] Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, Hukum Pemerintah Daerah, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005, hlm. 247
[7] R. Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: PT Eresco, 1993, hlm. 86
[8] Erly Suandy, Hukum Pajak, Jakarta: Salemba Empat, 2000, hlm. 8
[9] Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi, Yogyakarta: Andi Offset, 2008, hlm. 14
[10] Erly Suandy, Op.Cit., hlm. 5
[11] Slamet Munawir, Perpajakan Untuk SLTA, Yogyakarta: BPFE UGM, 1990, hlm. 4-5
[12] Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi, Yogyakarta: Andi Offset, 2008, hlm. 8
[13] Ibid,  hlm. 2
[14] C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986, hlm. 325
[15] Adrian Sutedi, Hukum Pajak dan Retribusi Daerah, Bogor: Ghalia Indonesia, 2008, hlm. 37
[16] Utang Rosidin, Otonomi Daerah dan Desentralisasi, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hlm. 234
[17] Cik Hasan Bisri, Penuntun Penyusunan Rencana Penelitian dan Penyusunan Skripsi, Jakarta: Rajawali Pers, 2001, hlm. 66
[18] Abdurrahmat Fathoni, Metode Penelitan dan Teknik Penyusunan Skripsi, Jakarta: Rineka Cipta, 2006, hlm. 113
[19] Dikutif dalam Buku Erly Suandy, Hukum Pajak, Jakarta: Salemba Empat, 2000, hlm. 6
[20] Ibid, hlm. 6
[21] Ibid, hlm. 7
[22] Ibid, hlm. 7
[23] Ibid, hlm. 7
[24] Rochmat Sumitro, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan, Bandung: Eresco, 1979, hlm. 23
[25] Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 32
[26] C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986, hlm. 324
[27] Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Lengkap, Bandung: Fokusmedia, 2009, hlm. 3
[28] Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi, Yogyakarta: Andi Offset, 2008, hlm. 1
[29] Ibid, hlm. 2
[30] Ibid, hlm. 6
[31] Ibid, hlm. 7
[32] Ibid, hlm. 7
[33] Ibid, hlm. 8
[34] C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986, hlm. 325
[35] Ibid, hlm. 325
[36] Achmad Tjahjono dan Muhammad F. Husain, Perpajakan, Yogyakarta: Akademika Manajemen Perusahaan YKPN, 1997, hlm.7-9
[37] Ibid, hlm. 4-6
[38] Ibid, hlm. 6
[39] C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986, hlm. 326
[40] Erly Suandy, Hukum Pajak, Jakarta: Salemba Empat, 2000, hlm. 12
[41] Ibid, hlm. 12
[42] Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi, Yogyakarta: Andi Offset, 2008, hlm. 4
[43] Ibid, hlm. 4
[44] Ibid, hlm. 5
[45] Erly Suandy, Hukum Pajak, Jakarta: Salemba Empat, 2000, hlm. 8
[46] Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi, Yogyakarta: Andi Offset, 2008, hlm. 14
[47] Slamet Munawir, Perpajakan Untuk SLTA, Yogyakarta: BPFE UGM, 1990, hlm. 4-5
[48] Mardiasmo, Perpajakan,  Edisi Revisi, Yogyakarta: Andi Offset, 2008, hlm. 12
[49] Siahaan, Marihot Pahala, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Edisi Revisi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010, hlm.10
[50] Ibid, hlm. 40
[51] Ibid, hlm. 50
[52] Ibid, hlm. 48
[53] Ibid, hlm. 59
[54] Ibid, hlm. 64
[55] Ibid, hlm. 78
[56] Ibid, hlm. 78
[57] Ibid, hlm.79
[58] Ibid,  hlm. 79-80
[59] Ibid,  hlm. 615
[60] Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi, Yogyakarta: Andi Offset, 2008, hlm. 14
[61] Erly Suandy, Hukum Pajak, Jakarta: Salemba Empat, 2000, hlm. 144
[62] Siahaan, Marihot Pahala, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Edisi Revisi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010, hlm. 621
[63] Ibid, hlm. 67
[64] Ibid, hlm. 619
[65] Ibid, hlm. 621
[66] Ibid, hlm. 628
[67] Ibid, hlm. 632
[68] Ibid, hlm. 636
[69] Ibid, hlm. 628-629
[70] Ibid, hlm. 628
[71] UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
[72] PP No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah
[73] Perda Kab. Kuningan No. 17 Tahun 1998 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan
[74] Siahaan, Marihot Pahala, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Edisi Revisi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010, hlm. 638
[75] Ibid, hlm. 638
[76] Ibid, hlm. 639
[77] Ibid, hlm. 640-641
[78] Ibid, hlm. 641-642
[79] Ibid, hlm. 642
[80] Tri Yuanta, Dasar Ternak Unggas, Yogyakarta: Kanisius, 2008, hlm. 15
[81] Wikipedia, (http://id.wikipedia.org/wiki/Unggas) diakses tanggal. 23 Maret 2012
[82] Wikipedia, (http://id.wikipedia.org/wiki/Hewan) diakses tanggal. 23 Maret 2012
[83] UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
[84] PP No.66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah
[85] Perda No.17 Tahun 1998 tentang Retribusi RPH
[86] Data Puskeswan Kecamatan Kuningan-Cigugur, tanggal. 02 Mei 2012
[87] Motto Visi dan Misi Dinas Pertanian, Perikanan dan Peternakan
[88] Wawancara, Kepada Pegawai DP3 Pemungut Retribusi RPH, tanggal. 06 April 2012
[89] Perda No. 17 Tahun 1998 tentang Retribusi RPH
[90] Siahaan, Marihot Pahala, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Edisi Revisi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010, hlm. 649
[91] Perda No. 17 Tahun 1998 tentang Retribusi RPH
[92] Wawancara, Pegawai DP3 Pemungut Retribusi Unggas, tanggal. 06 April 2012
[93] Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi, Yogyakarta: Andi Offset, 2008, hlm. 8
[94] Wawancara, Kepada Pegawai DP3 Pemungut Retribusi Unggas, tanggal. 06 April 2012
[95] Adrian Sutedi, Hukum Pajak dan Retribusi Daerah, Bogor: Ghalia Indonesia, 2008, hlm. 99-100
[96] Josef Riwu Kaho, Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Peningkatan Pemungutan Retribusi Daerah, Jakarta: Gramedia, 1987, hlm. 131